Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Tampilkan postingan dengan label diskusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label diskusi. Tampilkan semua postingan

GUGATAN

GUGATAN
Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan gugatannya secara prodeo.
Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120 HIR).

TANGKISAN/EKSEPSI
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak berwenangnya Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam pertimbangan hukum dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:
Dalam eksepsi:.............. (pertimbangan lengkap).
Dalam pokok perkara..... (pertimbangan lengkap).

GUGATAN DALAM REKONVENSI (GUGAT BALIK ATAU GUGAT BALASAN)
Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban secara tertulis maupun lisan (pasal 132 b HIR/pasal 158 Rbg).
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonvensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak diizinkan lagi untuk mengajukan gugatan balik.
Kedua gugatan (dalam konvensi dan dalam rekonvensi diperiksa bersama-sama dan diputus dalam satu putusan.
Akan tetapi Hakim dapat memeriksa gugatan yang satu terlebih dahulu, yaitu jika gugatan yang satu ini dapat diselesaikan terlebih dahulu dari yang lain, yang mungkin masih menunggu saksi yang ada diluar negeri atau saksi yang sakit, kedua perkara itu tetap diadili oleh majelis Hakim yang sama.
Antara gugatan dalam konvensi dan gugatan dalam rekonvensi tidak diharuskan ada hubungan. Gugatan dalam rekonvensi dapat berdiri sendiri dan oleh tergugat sebenarnya dapat diajukan tersendiri, menurut acara biasa kapan saja.
Apabila gugatan konvensi dicabut, maka gugatan rekonvensi tidak bisa dilanjutkan

PENCABUTAN SURAT GUGATAN
Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272 RV).

PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN
Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari sidang pertama dimana para pihak hadir, tetapi hat tersebut harus ditanyakan pada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.

PENGGABUNGAN PERKARA
Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu, terdapat hubungan erat atau ada koneksitas. Hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan faktanya.
Penggabungan gugatan diperkenankan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara gugatan yang gabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan, serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling bertentangan.

PERKARA GUGUR
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telab dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.
Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat tinggalnya jauh atau ia benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak memenuhi syarat, Hakim boleh mengundurkan dan menyuruh memanggil penggugat sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).

PERDAMAIAN
Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha mendamaikan mereka. Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum Hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang berkuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penerjemah (pasal 131 HIR).
Khusus untuk gugat cerai:
  • Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak, agar berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan sedapat mungkin suami-isteri harus datang sendiri.
  • Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut. Sehubungan dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta perdamaian.
  • Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan sidang tertutup.
PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA
Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka ahliwarisnya dapat melanjutkan perkara.

BIAYA YANG DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN
Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-hal/perbuatan yang barus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang dikalahkan.
Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak tidak mau membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang barus dilakukan itu tidak jadi dilakukan, kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat diperlukan. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160 HIR).

Penyerahan (levering)

Penyerahan/ levering

Diatur dalam pasal 612 s/d 620 KUHPerdata.

Ada dua macam penyerahan:
  1. Feitelijke levering adalah Penyerahan yang nyata atas suatu benda, sehingga benda tersebut dialihkan ke dalam kekuasaan yang nyata dari pihak lawan.
  2. Juridische levering adalah Penyerahan milik beserta hak untuk memiliki suatu benda kepada pihak lainnya.
Penyerahan Benda Bergerak Ada tiga macam :
  1. Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering), Diserahkan begitu saja tanpa melalui proses panjang.
  2. Penyerahan Kunci, Penyerahan benda bergerak yang terletak di dalam gudang.
  3. Tidak diperlukan penyerahan:
    • Traditio Brevu Manu/Penyerahan dengan tangan pendek: barang sudah ada ditangan pemilik baru.
    • Constitutum Possessorium penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya.
    • Levering Met de Lange Hand benda dikuasai oleh pihak ketiga, penyerahan hak hanya dengan perjanjian. Antara pemilik baru dan pemilik lama ada suatu perjanjian.
Penyerahan Benda Tidak Bergerak, Setiap peralihan hak harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dahulu dilakukan dihadapan Pejabat Balik Nama.

Benda bergerak tidak bertubuh, dilakukan dengan cessie, yaitu penyerahan dengan akta otentik atau dibawah tangan, yang memuat pemberitahuan adanya penyerahan atau pemindahan secara nyata dari yang berpiutang lama ke berpiutang baru.

Pengertian Hukum Publik dan Hukum Privat

Hukum terbagi menjadi 2 kelompok yaitu hukum publik dan hukum privat. Tujuan dari diberlakukannya hukum adalah untuk membatasi perilaku masyarakat dan juga mewujudkan keadilan di dalam masyarakat.

Hukum publik adalah keseluruhan peraturan negara untuk mengatur bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya, jadi merupakan perlindungan kepentingan negara. Maka dari itu untuk tujuan kepentingan umum, pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.

ciri-ciri hukum publik antara lain:
  • Ruang lingkupnya merupakan kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan
  • Penguasa negara berkedudukan lebih tinggi ketimbang orang perseorangan.
  • Hukum publik ditegakkan demi tujuan bersama dan kepentingan masyarakat luas.
  • Ada banyak hubungan antar negara, masyarakat, individu serta usur politik di dalamnya.
Macam-macam hukum publik
  • Hukum tata negara
  • Hukum tata usaha negara
  • Hukum internasional
  • Hukum pidana
  • Hukum Perpajakan
  • Hukum Lingkungan
  • Hukum PHI

Pengertian Hukum Privat
hukum privat adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lainnya dalam pergaulan masyarakat. bidang hukum privat meliputi hukum tentang orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum perikatan, dan hukum waris.

Hukum privat mengatur tentang hubungan dalam masyarakat yang menyangkut:
  • Keluarga dan kekayaan para warga/individu.
  • Hubungan antar warga/individu.
Hukum yang Termasuk Hukum Privat
  • Hukum Perdata tentang Pribadi
  • Hukum Perdata tentang Harta Kekayaan
  • Hukum Benda Tetap (Agraria) dan Hukum Benda Lepas
  • Hukum Perdata tentang Perikatan
  • Hukum Perjanjian
  • Hukum Perdata tentang Hak Immaterial
  • Hukum Keluarga dan Hukum Waris
  • Hukum Dagang
  • Hukum PHI

BEZIT (ZITTEN)/ MENDUDUKI/ MENGUASAI

Bezit berasal dari bahasa belanda yaitu Zitten : Menduduki/ Menguasai.
Bezit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau perantara orang lain seakan - akan barang itu adalah miliknya, namun secara hukum belum tentu ia adalah pemiliknya.
Bezitter hanya menguasai secara materiil saja, belum tentu secara yuridis formil.

Unsur - unsur dalam bezit
  • Kekuasaan atas suatu benda (Corpus)
        Harus ada hubungan antara orang yang menguasi benda dengan bendanya.
  • Kemauan/ Kehendak untuk memiliki (Animus)
        Harus benar - benar murni, cakap untuk memiliki benda tersebut.

Pembagian Bezit ada 2 macam :
  1. Bezit beritikad baik adalah memperoleh dengan cara perolehan hak milik seperti penyerahan, pengambilan, pewarisan, dsb.
  2. Bezit beritikad buruk adalah memperoleh dengan cara merugikan orang lain, seperti barang hasil curian
Perlindungan terhadap bezitter yang beritikad baik dengan yang beritikad buruk adalah sama.
Asas kejujuran (itikad baik) dianggap ada pada setiap orang, sedangkan ketidakjujuran harus dibuktikan.

Cara Memperoleh Bezit
  • Occupatio (Pendakuan/ menduduki), misalnya mengambil ikan di laut, membuka hutan untuk sawah.
  • Traditio (Penyerahan), dari bezitter lama ke yang baru.
Hak Bezitter
Hak yang dimiliki oleh bezitter yang beriktikad baik:
  1. Dianggap sebagai pemiliknya sampai ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya.
  2. Memperoleh hak milik karena daluarsa
  3. Menikmati hasil dari barang yang dikuasainya.
  4. Mempertahankan dari gangguan pihak lain atau memulihkan kembali
Berakhirnya Bezit
  • Karena kehendak bezitter, yaitu dengan menyerahkan kepada orang lain atau meninggalkannya begitu saja.
  • Bukan karena kehendak bezitter :
    1. Pihak lain telah mengambilnya
    2. Obyek musnah karena bencana alam
    3. Dicuri pihak lain
    4. Hilang

Pengertian Restorative Justice

Restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.

Arti restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Dalam pelaksanaan restorative justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum.

Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini:

  • Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara pidana. Restorative justice dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk pemberlakuan kebijakan.
  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
  • Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:

Tindak Pidana Anak
Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum
Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik
Tindak Pidana Lalu Lintas

CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja sangat diperlukan demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan kondusif antara kedua belah pihak.

Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan.Meskipun keduanya memiliki kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih sering terjadi antara pengusaha dan pekerja.

Bila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, perundingan bipartit bisa menjadi solusi utama agar mencapai hubungan industrial yang harmonis. Hubungan industrial yang kondusif antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Menurut pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU 13/2003), hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbeda dengan hubungan kerja yang merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh saja, hubungan industrial melibatkan pemerintah di dalamnya.

Hubungan industrial tersebut diharapkan tercipta sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan Bangsa.

APA SAJA TUGAS MASING-MASING PIHAK TERKAIT DALAM MELAKSANAKAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Pasal 102 UU 13/2003 menegaskan tugas masing-masing pihak sebagai berikut:Pemerintah: menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya: menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Pengusaha dan organisasi pengusahanya: menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

HUBUNGAN INDUSTRIAL DAPAT DILAKSANAKAN MELALUI SARANA APA SAJA?

Untuk menciptakan hubungan industrial yang baik, pasal 103 UU 13/2003 menyebut, hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui sarana:Serikat pekerja/serikat buruh
Organisasi pengusaha
Lembaga kerjasama bipartit
Lembaga kerjasama tripartit
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial menyebut perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan.

APA SAJA JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Perselisihan hubungan industrial meliputi:Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 2 UU 2/2004).
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 3 UU 2/2004).
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pasal 1 angka 4 UU 2/2004).
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (pasal 1 angka 5 UU 2/2004).

BAGAIMANA CARA MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Aturan Ketenagakerjaan menegaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Namun dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU 2/2004).

Prosedur yang disediakan antara lain melalui mediasi hubungan industrial atau konsiliasi hubungan industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang ada pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi, yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERUNDINGAN BIPARTIT?

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004, perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja / serikat buruh atau antara serikat pekerja / serikat buruh dan serikat pekerja / serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih. Perundingan Bipartit adalah perundingan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Penyelesaian melalui perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak perundingan pertama dilaksanakan. Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial. Bila bipartit gagal, maka perselisihan hubungan industrial harus dimintakan untuk diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, atau konsiliasi hubungan industrial, atau arbitrase hubungan industrial sebelum dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI MEDIASI?

Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator Hubungan Industrial yang disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 11 dan 12 UU 2/2004).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI KONSILIASI?

Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 13 dan 14 UU 2/2004).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI ARBITRASE?

Arbitrase Hubungan Industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (pasal 1 angka 15 dan 16 UU 2/2204).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)?

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota Provinsi yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja (pasal 1 angka 17 UU 2/2204).

Menurut pasal 56 UU 2/2004, Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus:Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan

Sumber:
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial

Pengertian Civil Law

Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law. Disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus Corpus Iuris Civilis. Sistem civil law dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental sehingga kerap disebut juga Sistem Kontinental.

Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem hukum eropa kontinental atau sistem civil law ialah hukum mempunyai kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Prinisip utama ini dianut oleh karena nilai dasar utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan apabila tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis

Karakteristik Civil Law Sistem

Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistem Common Law.

ciri atau karakteristik sistem Civil Law adalah:
  • Berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus.
  • Corpus Juris Civilis (kumpulan berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus) dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa.
  • Prinsip utamanya bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat, karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
  • Tujuan hukum adalah kepastian hukum.
  • Hakim tak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.
  • Dalam Perdata Putusan hakim tak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak yang berpekara saja.
Sumber hukum dalam sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni putusan hakim di semua tingkatan peradilan dan Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

Pembagian Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law yaitu:
  1. Hukum privat adalah Hukum yang mencakup peraturan hukum yang mengatur hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya.
  2. Hukum publik adalah Hukum mencakup peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa atau negara serta hubungan antara masyarakat dan negara.Adanya sistem kodifikasi;








Pengertian Common Law

Common law atau sistem hukum Anglo-Saxon berkembang di Negara Inggris Pada Abad XI Masehi dan dikenal dengan istilah unwritten law (hukum tidak tertulis). Akan tetapi, sebagian hukumnya ada yang tertulis. Sistem hukum common law dianut negara-negara bekas jajahan dari Inggris itu sendiri yaitu Amerika Utara, Kanada, Amerika Serikat dan semua negara persemakmuran Inggris.

Common law atau kebiasaan merupakan salah satu kejadian utama yang menyebabkan terjadinya hukum. Common law pada mulanya berasal dari kebiasaan dalam masyarakat di Inggris dan kemudian dikembangkan oleh keputusan-keputusan pengadilan sejak sekitar tahun 1066.

Sistem hukum common law atau anglo-saxon adalah sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yakni keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim berikutnya.

Beberapa karakteristik Common law di antaranya adalah sebagai berikut.
  • Common law disusun berdasarkan tradisi, custom, dan berkembang dari preseden yang dipergunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah.
  • Common law berdasar pada putusan-putusan hakim atau pengadilan (judicial decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang berwujud kepastian hukum walaupun tetap mengakui peraturan yang dibuat oleh legislatif.
  • Common law sumber-sumber hukumnya tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti pada sistem hukum civil law. Dalam sistem hukum common law, ada peranan yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar, yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara sejenis. Dalam sistem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan mengantut prinsip judge made precedent sebagai hal utama dari hukum.
  • Common law mengenal pula pembagian hukum publik dan hukum privat seperti pada civil law. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem civil law. Sedangkan hukum privat dalam common law lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of person), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim, dan hukum .
  • Common law berlaku di Inggris dan sebagian besar negara jajahan dan persemakmurannya.
Sumber hukum dalam sistem common law hanya yurisprudensi yang di Inggris disebut dengan judge made law atau di Amerika Serikat disebut dengan case law. Dengan kata lain, sumber hukum common law bersumber pada keputusan-keputusan hakim maupun putusan-putusan pengadilan yang biasa disebut sebagai yurisprudensi. Dalam perkembangannya sumber hukum common law juga termasuk undang-undang (statute law). Amerika Serikat sendiri memiliki undang-undang dasar dan undang-undang yang bersifat sektoral lainnya yang kedudukannya sama penting dengan yurisprudensi.

Berkaitan dengan hal sumber hukum, terdapat perbedaan antara Inggris dan Amerika Serikat yakni:Pengadilan Inggris wajib mengikuti rules yang dinyatakan dalam putusan hakim sebelumnya. Berbeda dengan Mahkamah Agung AS tidak pernah terikat dengan putusan yang mereka buat sendiri.
Di AS, dikenal adanya judicial review, yakni pengadilan dapat membatalkan produk undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Berbeda dengan Inggris yang tidak mempunyai konstitusi tertulis, selain itu Inggris dikenal adanya supremasi parlemen.

Asas Stare Decesis

Asas stare decesis atau the binding force of precedent adalah asas yang mengikat hakim terhadap keputusan-keputusan yang lebih dahulu dari hakim-hakim yang sederajat atau oleh hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh negara-negara yang menerapkan common law sebagai sistem hukumnya.

Asas ini berlaku berdasarkan empat faktor, yaitu:
  • Bahwa penerapan pada peraturan-peraturan yang sama pada kasus-kasus yang sama menghasilkan perlakuan yang sama bagi siapa saja yang datang ke pengadilan;
  • Bahwa mengikuti precedent secara konsisten dapta menyumbangkan pendapat untuk masalah-masalah di kemudian hari;
  • Bahwa penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan masalah-maslaah baru dapat menghembat tenaga dan waktu;
  • Bahwa pemakaian putusan-putusan yang terdahulu menunjukkan adanya kewajiban untuk menghormati kebijaksanaan dan pengalaman pengadilan generasi sebelumnya.

Istilah Istilah dalam Hukum Acara Perdata

  • Gugatan Provisiional adalah permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
  • Eksepsi merupakan bagian dari jawaban Tergugat terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat . Eksepsi pada pokoknya membuat bantahan – bantahan tertentu adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak berkaitan langsung pokok perkara. Eksepsi pada dasarnya mempersoalkan keabsahan formal dari gugatan Penggugat.
  • Rekonvensi merupakan upaya tergugat untuk menggugat balik penggugat dalam suatu perkara yang sama. Tuntutan balik ini dimungkinan untuk hukum perdata, gugatan rekonvensi dalam hukum perdata dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat.
  • intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan mengajukan gugatan intervensi.
  • Replik yaitu jawaban penggugat baik tertulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
  • Dalam hukum duplik adalah jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat. Duplik diajukan untuk meneguhkan jawaban yang umumnya berisi penolakan terhadap gugatan dan replik penggugat. Sama seperti halnya replik, duplik juga dapat diajukan secara lisan atau tertulis.
  • Kesimpulan merupakan suatu uraian megenai hasil-hasil sidang , yaitu penjabaran dari dalil-dalil yang telah disampaikan para pihak dalam jawab menjawab dikaitkan dengan alat bukti. Isi pokok dari kesimpulan adalah hal-hal yang menguntungkan para pihak sendiri.
  • Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
  • Putusan akhir adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung). Putusan Akhir dapat bersifat deklaratif, constitutief, dan condemnatoir.




Apa yang dimaksud Putusan Sela?

Putusan Sela (tussen vonnis)

Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara

Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:
  1. Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir.
  2. Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
  3. Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan. Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil dalam sita jaminan.
  4. Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah objek sengketa.
 

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon?

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon? Jawabannya Ya Berhak.

Dasar Hukumnya:

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1). Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai

berikut:

(1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Bumh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa $orce majeur);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/ Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/ Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain da-lam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. Pekerja/ Buruh memasuki usia pensiun; atau
o. Pekerja/Buruh meninggal dunia.
(2). Selain alasan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan Pemutusan Hubungan Kerja lainnya dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berapa Sih Besaran Pesangon Bagi Karyawan yang Di PHK dan Mengundurkan Diri?

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tqiuh) bulan Upah;
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan Upah;
  • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
  • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  • biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat Pekerja/ Buruh diterima bekerja;
  • hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Apakah Perjanjian Secara Lisan Sah Dimata Hukum?

Apakah Perjanjian Secara Lisan Sah Dimata Hukum?

Pada Pasal 1320 KUHPerdata tidak mengatur dan mewajibkan suatu kontrak atau perjanjian dibuat secara tertulis, sehingga perjanjian lisan juga mengikat secara hukum. Namun, tidak semua perjanjian dapat dilakukan secara lisan. Terdapat beberapa perjanjian yang harus dibuat secara tertulis dan tidak dapat dianggap sah jika tidak dibuat secara tertulis.

Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan, perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak jika memenuhi:
  1. Sepakatnya kedua belah pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
  3. Terdapat suatu hal tertentu didalam kontrak.
  4. Terdapat sesuatu sebab yang halal, yaitu tidak melanggar hukum yang berlaku.
Bagaiman cara pembuktian perjanjian lisan apabila terjadi perselisihan?
Terdapat 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 H.I.R, yaitu:
  1. Bukti tulisan.
  2. Bukti dengan saksi.
  3. Persangkaan, pengakuan, dan
  4. Sumpah
Sehingga jika terjadi perselisihan dalam suatu perjanjian, Anda dapat menggunakan perjanjian tersebut sebagai bukti yang sah dalam pengadilan.

PERKARA PERMOHONAN dan KUASA/WAKIL

PERKARA PERMOHONAN

  • Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal pemohon.
  • Permohonan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku Register dan diberi Nomor urut, setelah pemohon membayar persekot biaya perkara, yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
  • Bagi pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan permohonannya secara prodeo.
  • Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut (pasal 120 HIR).
  • Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi suatu penetapan.
  • Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan oleh Pengadilan Negeri, misalnya dalam hal diajukan permohonan pengangkatan anak oleh seorang Warga Negara Asing (WNA) terhadap anak Warga Negara Indonesia (WNI), atau oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) terhadap anak Warga Negara Asing (WNA). (SEMA No. 6/1983).
  • Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi.
Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri adalah:
  • Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa.
  • Permohonan pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
  • Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri (pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974).
  • Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat (5) Undang-undang No. I tahun 1974).
  • Permohonan pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang No.1 tahun 1974).
  • Permohonan pengangkatan anak (SEMA No. 6/1983).
  • Perwohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut.
  • Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit, oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.
  • Permohonan untuk pencatatan kelahiran, setelah lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran.
Permohonan untuk menetapkan, bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dapat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Hak Milik atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain dipersidangan.
Dernikian juga permohonan untuk rnenetapkan seseorang atau beberapa orang adalah ahliwaris almarhurn, tidak dapat diajukan. Penetapan ahli waris dapat dikabulkan dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.
Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual, membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan:
  • Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris BW, dengan surat keterangan hak waris, yang dibuat oleh Notaris.
  • Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat dengan surat keterangan ahliwaris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri, yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dari desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
  • Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris lain-lainnya, misalnya Warga Negara Indonesia keturunan India, dengan surat keterangan ahliwaris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R. Soepandi, tertanggal 20 Desember 1969, No. Dpt/I12/63/12/69, yang terdapat dalarn buku Tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Dep. Dalam Negeri, Ditjen.-Agraria, halaman 85).
Tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan dan rnenetapkan seorang atau beberapa orang sebagai pemilik atau mempunyai hak atas suatu barang.
Tidaklah pula dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.

KUASA/WAKIL
Untuk bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari penggugat/tergugat ataupun pemohon, seseorang harus memenuhi syarat-syarat:
  1. Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan dipersidangan. atau pemberian kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang berperkara/pemohon didalam persidangan secara lisan.
  2. Memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Menkeh No. 1/1985 jo Keputusan Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P.14-2-11.
  3. Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara praktek di kantor Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara khusus telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
  4. Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh Kuasa/Wakil dari pihak yang bersangkutan barus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di Pengadilan Negeri telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.Untuk menjadi kuasa dari pihak tergugat juga berlaku hal-hal tersebut diatas.
  5. Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan Stbl. 1922 No. 522 dan pasal 123 ayat 2 HIR, adalah:
    • Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah.
    • Jaksa.
    • Orang tertentu atau Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh Instansi-instansi yang bersangkutan.
Jaksa tidak perlu menyerahkan Surat Kuasa khusus. Pejabat atau orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan Salinan Surat pengangkatan/penunjukan, yang tidak bermaterai.

Apa itu? Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis adalah suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang bersifat khusus ( lex specialis ) akan mengesampingkan aturan hukum yang berlaku umum ( lex generalis ).

Pasal 63 KUHP
  1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  2. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya yang khusus itulah diterapkan.

Istilah Istilah Bahasa Hukum

  1. Acara pemeriksaan singkat : Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali perkara pelanggaran lalu lintas.
  2. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan : Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan penghinaan ringan.
  3. Actio in pauliana : Tuntutan hukum untuk pernyataan batal segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, yang menyebabkan penagih hutang dirugikan (pasal 1341 KUHPerdata).
  4. Actor rei forum sequitur : Penggugat harus menggugat tergugat di pengadilan di tempat tergugat tinggal.
  5. Actor sequitur forum rei : Pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak.
  6. Administrasi pengadilan : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi, akurasi dan konsistensi dalam sistim peradilan. Suatu struktur administrasi pengadilan dilakukan dalam rangka menunjang kerja hakim dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Administrasi pengadilan diantaranya meliputi pengawasan terhadap anggaran, penunjukan hakim dalam suatu perkara, menciptakan jadwal persidangan dan mengawasi pekerjaan yang bersifat non-perkara.
  7. Administrasi perkara : Rangkaian kegiatan yang dibutuhkan dalam menangani perkara dalam rangka penertiban dokumen data perkara semenjak pendaftaran perkara, persidangan, pengajuan upaya hukum sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
  8. Advokasi : Tindakan untuk mempermasalahkan suatu hal/ide/topik tertentu.
  9. Advokat : Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
  10. Advokat / pengacara asing : Advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Aequo et bono : Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara. Arti harfiahnya : apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
  12. Ajudikasi/ adjudication : Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan.
  13. Akta : suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
  14. Akta autentik : Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya; surat yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari.
  15. Akta di bawah tangan : Akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
  16. Akta notariil : Akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.
  17. Alat bukti : Alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti bahwa diluar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. contoh : didalam hukum pidana, secara formal diatur dalam pasal 184 kuhap.
  18. Animus : Kemauan/ Kehendak untuk memiliki
  19. Alat bukti surat : Surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
  20. Alibi : Bukti bahwa tersangka berada ditempat lain pada saat perbuatan hukum terjadi.
  21. Alternatif Penyelesaian Sengketa : sebuah penamaan untuk proses dan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
  22. Arbiter : orang perseorangan yang netral yang ditunjuk untuk memberikan putusan atas persengketaan para pihak.
  23. Arbitrase : salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
  24. Amnestie : Pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik tersebut.
  25. Aparatur hukum : Mereka yang memiliki tugas dan fungsi: penyuluhan hukum, penerapan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum.
  26. Asas audie et alteram partem : Kedua belah pihak harus didengar.
  27. Asas domisili : Status dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile (hukum tempat kediaman permanen) orang itu.
  28. Asas Acta Publica Seseipsa : Suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, sampai terbukti sebaliknya.
  29. Asas Domein : Asas yang mengatur bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
  30. Asas droit de suite : Asas berdasarkan hak suatu kebendaan seseorang yang berhak terhadap benda itu mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.
  31. Asas Independence Of Protection : Asas yang memberi perlindungan yang diberikan terhadap ciptaan tidak digantungkan pada adanya perlindungan di negara asal ciptaan itu.
  32. Asas Kepastian Hukum : Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
  33. Asas konsensus : bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
  34. Asas exceptio non adimpleti contractus : Tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.
  35. Asas in dubio pro reo : Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.
  36. Asas kebebasan berkontrak : Para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2. tidak dilarang oleh undang-undang; 3. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; 4. dilaksanakan dengan itikad baik.
  37. Asas kebenaran materiil : Asas untuk mencari kebenaran hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum.
  38. Asas kepastian hukum : Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
  39. Asas legalitas : Dimana suatu tindak kejahatan tidak dapat dihukum atau di sebut sebagai tindak pidana apa bila sebuah perbuatan dilakukan tetapi belum terdapat keterangan dalam UU atau KUHP atau perbuatan itu dilakukan baru kemudian UU mengenai perbuatan itu di buat, maka hukum tidak berlaku bagi perbuatan ini atau diambil hukum yang paling ringan bagi terdakwa.
  40. Asas lex specialis derogat legi generalis : Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.
  41. Asas lex superior derogat legi inferiori : Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
  42. Asas ne bis in idem : Asas yang melarang seseorang untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya bagi kejahatan yang sama.
  43. Asas pacta sunt servanda : Bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.
  44. Asas pengaitan : apabila terjadi suatu masalah maka harus dikaitkan dengan suatu norma kesusilaan tertentu.
  45. Badan hukum : Suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.
  46. Badan usaha : Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
  47. Berita Acara Pemeriksaan tersangka/saksi : Catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/saksi ahli, memuat uraian tindak pidana yang mencakup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, catatan mengenai akta dan /atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
  48. Berkas perkara : Kumpulan formulir dan dokumen, baik yang dibuat oleh para pihak maupun oleh Pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara.
  49. Barang bukti/corpus delicti : Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan.
  50. Batal demi hukum : Kebatalan yang terjadi berdasarkan undang-undang, berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap tidak pernah terjadi.
  51. Beban pembuktian terbalik : Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana.
  52. Bebas dari segala dakwaan / Vrijspraak : Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
  53. Benda sitaan : Benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan.
  54. Benturan kepentingan : Benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut.
  55. Berita Acara Persidangan (BAP) : Catatan yang berisi mengenai segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan saksi, hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli.
  56. Blancostraafbepalingen : Dalam ilmu hukum tindak pidana perekonomian, dalam bahasa belanda yang berarti “cek kosong”, di Indonesia hal ini dikenal sebagai dasar hukum untuk membuat undang undang tentang tindak pidana perekonomian yang belum dibuat undang undang khususnya. Jadi Pemerintah bisa membuat UU dengan dasar Blancostraafbepalingen ini. Blancstraafbepalingen diatur dalam Undang Undang Darurat, Kalo gak salah No. 8 tahun 67.
  57. Beban pembuktian; Kewajiban memberikan bukti atas dalil-dalil yang diungkapkan di muka pengadilan.
  58. Bezit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau perantara orang lain seakan - akan barang itu adalah miliknya, namun secara hukum belum tentu ia adalah pemiliknya.
  59. Clausula Rebus Sic Stantibus : Keadaan yang menghilangkan kewajabian dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian apabila terjadi suatu “fundamental change of circumstances” atau perubahan yg mendasar dari suatu keadaan.
  60. Contempt of Court : Setiap tindakan dan/perbuatan, baik aktif maupun pasif, tingkah laku, sikap dan/ucapan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang bermaksud merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan instirusi peradilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga mengganggu dan merintangi sistem serta proses peradilan yang seharusnya.
  61. Corpus: Kekuasaan atas suatu benda
  62. Dasar hukum : Peraturan hukum yang melandasi suatu perbuatan.
  63. De auditu testimonium de auditu : Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari orang lain.
  64. Delik : Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
  65. Delik aduan : Delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan (korban).
  66. Delik berlanjut : Suatu perbuatan yang dilakukan sebagian demi sebagian hingga merupakan perbuatan pidana yang utuh.
  67. Delik commissionis : Delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang.
  68. Delik commissionis per ommissionis commissa : Delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik commissionis) tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.
  69. Delik culpa : Delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya atau delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum.
  70. Delik dengan pemberatan : Delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi lebih berat.
  71. Delik dolus : Delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan atau delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”.
  72. Delik hukum/ rechts delict : Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam dengan pidana dalam satu undang-undang atau tidak, jadi benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
  73. Delik ommissionis : Delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang.
  74. Delik materiil : Suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.
  75. Delik undang undang/ wet delict : Perbuatan yang oleh umum baru disadari bahwa dapat dipidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana.
  76. Deposisi : Bukti saksi atau ahli yang didasarkan atas sumpah yang dilakukan diluar pengadilan.
  77. Derdenverzet / perlawanan pihak ketiga : Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa.
  78. Diktum/pemidanaan : Suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di pengadilan (in concretto).
  79. Doktrin ultra vires : Doktrin yang mengajarkan bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan di luar dari kekuasaan perseroan.
  80. Domisili : Tempat kediaman tetap.
  81. Dakwaan Alternatif : surat dakwaan yang didalamnya terdapat beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan.
  82. Droit de preference : Keistimewaan yang bersangkutan dengan hasil penjualan tanah yang dijadikan jaminan, dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang tidak mempunyai hak yang lebih mendahulu.
  83. Duplik : Jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat.
  84. Eigenrichting / tindakan main hakim sendiri : Tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan, hal ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh perorangan.
  85. Eksaminasi : Ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/hakim.
  86. Eksepsi dilatoir : eksepsi yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan, misalnya oleh karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran.
  87. Eksaminasi publik terhadap suatu putusan pengadilan : Suatu penilaian atau kontrol oleh masyarakat terhadap putusan hukum yang menjadi bagian dari publik atau menjadi milik publik.
  88. Eksekusi : Pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  89. Eksepsi : Surat jawaban yang yang mengemukakan tangkisan di luar pokok perkara.
  90. Eksepsi materiil : Bantahan yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil.
  91. Eksepsi prosesuil : Upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.
  92. Events of defaults/wanprestasi/ cidera janji/trigger clausel opeisbaar clause : Tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul.
  93. Extrajudicial Killing adalah pembunuhan diluar putusan pengadilan merupakan perbuatan yang sangat ditentang oleh HAM Internasional dan perundang-undangan nasional.
  94. Fakta hukum : Uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa.
  95. Fiksi Hukum : Dimana setiap orang dianggap telah mengetahui tentang hukum,baik yang baru di sah kan atau yang udah lama.
  96. Forum rei sitae : Pengadilan di tempat benda tetap terletak (pasal 118 ayat 3 hir).
  97. Ganti kerugian : hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  98. Ganti rugi aktual / actual damages : Kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah.
  99. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum : Suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya.
  100. Ganti rugi karena wanprestasi : Suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur.
  101. Ganti rugi nomimal : Ganti rugi berupa pemberian sejumlah uang, meskipun kerugian sebenarnya tidak bisa dihitung dengan uang, bahkan bisa jadi tidak ada kerugian material sama sekali.
  102. Ganti rugi penghukuman / punitive damages : Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.
  103. Grasi : Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada yang diberikan oleh presiden.
  104. Gratifikasi : Pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman, tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil dan dilakukan baik didalam negeri maupun diluar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
  105. Gugatan provisional : Suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi bagi salah satu pihak.
  106. Gugatan balik : Gugatan yang diajukan oleh tergugat bersama-sama dalam jawabannya kepada penggugat.
  107. Gugatan perwakilan / Class Action : Gugatan yang berupa hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
  108. Gugatan perwakilan kelompok : Suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri meraka sendiri, dan sekaligus mewakili sekelompok orang banyak yang jumlahnya banyak, yan mewakili kesamaan fakta atas dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.
  109. Gugatan provisional : Suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung.
  110. Gugatan Provisionil : Jadi gugatan ini bisa digugat oleh penasehat hukum, apabila putusan yang sudah incraht (berkekuatan hukum tetap) tidak bisa dilakukan eksekusi (permintaan pembayaran atau pemenuhan ganti rugi), dalam gugatan ini meminta kepada hakim untuk bisa menjalankan eksekusi sebelum putusan dijatuhkan.
  111. Grundnorm : norma dasar yg menjiwai suatu undang – undang.
  112. Hakim : Seseorang yang mempunyai fungsi memeriksa dan memutus (mengadili) suatu perkara.
  113. Hakim ad hoc : Hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
  114. Hakim bersifat menunggu/ judex ne procedat ex officio : Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan/ hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
  115. Harta pailit : Harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.
  116. Hakim Pengawas : Hakim yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan putusan untuk perkara kepailitan dan mengawasi proses pemberesan yang dilakukan oleh kurator.
  117. Hukum yurisprudensi : Hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
  118. Ilegal (logging) : Kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
  119. In casu : Dalam perkara ini, dalam hal ini.
  120. Inkracht : Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  121. intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan mengajukan gugatan intervensi.
  122. Jaksa : Pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
  123. Jatuh tempo : Suatu ketetapan waktu yang ditentukan undang-undang dalam jangka waktu mana debitur wajib memenuhi perikatan.
  124. Judex : Hakim
  125. Judex facti (dalam hukum perdata) : Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti, dalam hal ini hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
  126. Judicatum : Keputusan
  127. Juncto : “dihubungankan/dikaitkan” dapat berupa undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan “jo”. misalnya : undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 1987 tentang perubahan atas undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan atas undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dalam hal ini dapat disingkat undang-undang nomor 6 tahun 1982 jo undang-undang nomor 7 tahun 1987 jo undang-undang nomor 12 tahun 1997.
  128. Juru sita : Petugas pengadilan yang melaksanakan putusan pengadilan atas perkara perdata selain perkara kepailitan.
  129. Justice Collaborator adalah Saksi pelaku yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkapkan tindak pidana tertentu.
  130. Kadaluarsa (verjaring) : Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan orang yang menguasai barang memperoleh hak milik.
  131. Kasus Posisi : Urutan peristiwa yang terkait dengan perkara.
  132. Kaidah hukum : Peraturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.
  133. Kasasi : Pembatalan putusan atas penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tungkat peradilan terakhir.
  134. Keadaan kahar; keadaan memaksa/force majeure / overmacht : Keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak,keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
  135. Kegiatan eksaminasi publik : melakukan pengujian terhadap suatu putusan pengadilan atau putusan hukum yang terkait dengan kepentingan hukum, penegakan hukum dan keadilan dan masyarakat secara luas, oleh sebab itu dalam melakukan eksaminasi perlu dilakukan secara hati-hati, cermat dan tidak melanggar hukum atau bertentangan dengan asas-asas hukum.
  136. Kekuatan pembuktian formil : Didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. kekuatan ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.
  137. Kelalaian/negligence : Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
  138. Kepailitan :Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  139. Keputusan declaratoir : Suatu keputusan yang menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
  140. Keterangan ahli : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
  141. Keterangan anak : Keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  142. Keterangan saksi : Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
  143. Keterangan terdakwa : Apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (pasal 189 ayat (1) KUHAP).
  144. Kewajiban : Beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum.
  145. Kompetensi absolut (kewenangan mutlak) : Kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
  146. Kompetensi relatif : Wewenang hakim berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.
  147. Kesimpulan merupakan suatu uraian megenai hasil-hasil sidang , yaitu penjabaran dari dalil-dalil yang telah disampaikan para pihak dalam jawab menjawab dikaitkan dengan alat bukti. Isi pokok dari kesimpulan adalah hal-hal yang menguntungkan para pihak sendiri.
  148. Kreditur : pihak ( perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang.
  149. Kreditur konkuren : Kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu.
  150. Kreditur separatis : Kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak kebendaan tertentu, misalnya hipotik, fiducia, gadai atau hak tanggungan.
  151. Kreditur preferen : Kreditur yang tagihannya didahulukan atau diistimewakan daripada tagihan-tagihan kreditur lain.
  152. Kualifikasi gugatan : Suatu perumusan mengenai perbuatan materiil maupun formal dari tergugat, yang dapat berupa perbuatan melawan hukum, wanprestasi dan lain-lain.
  153. Kontra memori kasasi : Jawaban termohon kasasi atas memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi.
  154. Kuasa hukum : Pihak yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan proses hukum di muka pengadilan.
  155. KUHAP : Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
  156. Kurator Kepailitan : Balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.
  157. Lembaga perlindungan saksi dan korban : Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
  158. Lex specialis derogat legi generali : peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang besifat lebih umum.
  159. Locus delictie/tempat kejadian perkara, TKP : (a)Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya; (b) Tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan; tempat dimana pembuat melakukan sesuatu adalah tempat dimana ia seharusnya melakukan sesuatu, atau tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat ini.
  160. Masa percobaan : Masa tertentu yang diberikan oleh hakim melalui putusannya kepada seorang terpidana untuk memperbaiki perbuatannya dengan syarat tidak mengulangi perbuatannya atau melakukan perbuatan lain yang dapat dipidana.
  161. Memori kasasi : Alasan yang diberikan pemohon kasasi dalam mengajukan upaya hukum kasasi.
  162. Menejemen alur perkara : Mengkoordinasikan proses dan sumber daya pengadilan agar perkara berjalan secara tepat waktu mulai dari pendaftaran sampai dengan penyelesaian dengan tanpa memperhatikan jenis penyelesaiannya.
  163. Minutasi perkara : Proses yang dilakukan panitera pengadilan dalam menyelesaikan proses administrasi meliputi pengetikan, pembendelan serta pengesahan suatu perkara.
  164. Nebis in idem : Asas yang menyebutkan bahwa terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.
  165. Nodweer : Bela paksa. Artinya suatu perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan.
  166. Nodweer Excess : Bela paksa lampau batas. Pembelaan yang dilakukan akan tetapi melebihi batas yang seharusnya. Contoh: orang dipukul lalu membalas dengan memukul orang tersebut berkali-kali hingga tewas. syaratnya harus ada goncangan jiwa yang kuat.
  167. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali : Tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan (asas legalitas, pasal 1 ayat 1 KUHP).
  168. Obscure Libels : Suatu ketidak jelasan dalam hal waktu,tempat dan orang yang terlibat, dalam suatu perkara.
  169. Onrechtmatigedaad(tort/perbuatan melawan hukum) : Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
  170. Organisasi advokat : Organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
  171. Occupatio : (Pendakuan/ menduduki)
  172. Obstruction of Justice adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum.
  173. Pailit : Suatu keadaan di mana seseorang sudah tidak mampu lagi membayar hutang-hutangnya.
  174. Panitera : Pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu hakim dalam membuat berita acara pemeriksaan dalam proses persidangan.
  175. Panitera pengadilan/ clerk of the court : Pejabat atau petugas yang berfungsi memelihara atau menjaga segala dokumen atau melaksanakan pekerjaan umum kantor pengadilan (to perform general office work).
  176. Pembantaran penahanan : Penahanan yang dilakukan kepada tersangka yang sakit dan perlu dirawat inap di rumah sakit, dengan ketentuan jangka waktu tertentu menjalani rawat inap tersebut tidak dihitung sebagai masa penahanan.
  177. Pembebasan bersyarat : Bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
  178. Pembuatan berita acara pemeriksaan tersangka dan saksi : Catatan/ tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu (pemeriksa atas) atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ ahli (yang diperiksa), memuat uraian tindak pidana yang mencakup/ memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa, catatan mengenai akta dan/ atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
  179. Pembuktian : Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
  180. Pembuktian terbalik/pidana : Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
  181. Pemeriksaan tindak pidana ringan/ pemeriksaan cepat/summir : Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211 s/d 216 KUHAP).
  182. Penahanan : Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  183. Penangguhan penahanan : Mengeluarkan tersangka/ terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.
  184. Penangkapan : Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  185. Penasehat hukum : Seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
  186. Penegakan hukum : Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
  187. Pengaduan : Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
  188. Pengakuan di muka hakim di persidangan : Keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
  189. Pengawasan narapidana : Pengawasan terhadap orang-orang yang untuk sementara waktu dilepas dari lembaga pemasyarakatan.
  190. Penggugat : Pihak yang terdiri dari satu orang atau lebih yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke pengadilan negeri yang berwenang.
  191. Penuntut Umum : Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melaksanakan penuntutan dan melaksaakan penetapan hakim.
  192. Penyelidikan : Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  193. Penyidik pembantu : Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya sersan dua (serda) yang diangkat oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
  194. Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  195. Penyitaan : Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
  196. Peradilan koneksitas : Bercampurnya orang-orang yang sebenarnya termasuk yurisdiksi pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara.
  197. Perbuatan melanggar atau melawan hukum : Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain.
  198. Perbuatan pidana formil/ delik formil : Perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
  199. Percobaan : Percobaan untuk melakukan kejatahan yang nyata dari adanya permulaan pelaksanaan, namun pelaksanaan itu tidak selesai, oleh karena sebab-sebab di luar kehendak pelaku.
  200. Perdamaian : Suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
  201. Perikatan kumulatif : perikatan dengan lebih daripada satu prestasi bagi debitor.
  202. Perjanjian perdamaian/dading : Suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara.
  203. Perkara koneksitas : Perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan mereka yang termasuk lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali berdasarkan hasil penyidikan/ penelitian oleh “tim tetap” ternyata titik berat kerugian yang ditimbulkan terletak pada kepentingan militer.
  204. Perlawanan/verzet : Upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat.
  205. Perlindungan saksi : Pemberian jaminan kemanan terhadap saksi dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
  206. Persetujuan timbal balik : Persetujuan yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
  207. Petitum : Dalil-dalil yang menjadi tuntutan para pihak dalam proses perkara perdata khususnya dalam surat gugat; merupakan kesimpulan dari suatu gugatan, yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim atau pengadilan.
  208. Piutang : Hak untuk menerima pembayaran.
  209. Pleidooi/nota pembelaan : Alasan/ dasar hukum yang diajukan oleh terdakwa atau melalui penasihat hukumnya, untuk melemahkan pendapat-pendapat penuntut umum sebagaimana dikemukakan dalam tuntutan pidana, dan atas dasar alasan/ dasar tersebut terdakwa/ penasihat hukum meminta agar terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
  210. Posita : Dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan.
  211. Praperadilan : Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: -.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 1. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  212. Penetapan hakim : Putusan Hakim yang bersifat declaratoir untuk menetapkan suatu peristiwa tertentu.
  213. Pengadilan tingkat pertama : Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pada tingkat pertama.
  214. Perkara-perkara yang telah didaftarkan : Perkara yang telah memiliki nomor urut perkara.
  215. Perkara-perkara yang belum diputus : Perkara yang telah didaftarkan namun belum diputus oleh majelis hakim.
  216. Poging : percobaan dalam tindak pidana, jadi saja hanya tindak pidana yang selesai saja yang bisa dihukum.
  217. Pro bono : Suatu perbuatan/pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya.
  218. Preponderance of evidence : Bukti-bukti yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipecaya jika dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.
  219. Proses peradilan : Suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan terhadap adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
  220. Putusan condemnatoir : Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
  221. Putusan insidentil : Putusan yang bersifat sementara untuk mencegah timbulnya akibat hukum yang lebih lanjut sebelum putusan dijatuhkan.
  222. Putusan interlocutoir : Putusan yang isinya memerintahkan pembuktian.
  223. Putusan lepas : Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
  224. Putusan berkekuatan hukum tetap : Putusan yang sudah tidak dilakukan upaya hukum lagi baik banding maupun kasasi.
  225. Putusan pengadilan : Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  226. Putusan praeparatoir : Putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
  227. Putusan provisionil : Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
  228. Putusan sela / antara : Putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
  229. Putusan akhir adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung). Putusan Akhir dapat bersifat deklaratif, constitutief, dan condemnatoir.
  230. Putusan verstek : Putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat, meskipun telah dipanggil secara layak (sebagaimana mestinya).
  231. Pro Justitia berarti demi hukum, untuk hukum atau undang-undang. Istilah pro justisia terdapat dalam dokumen atau surat resmi kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan maupun dokumen hukum kejaksaan dalam proses penyelidikan atau penuntutan untuk kepentingan proses hukum.
  232. Rehabilitasi kepailitan : Penghapusan dosa bagi debitur pailit, sehingga setelah rehabilitasi tersebut, debitur benar-benar seperti tidak pernah terjadi kepailitan.
  233. Replik : Jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya.
  234. Requisitoir : Suatu pembuktian tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan.
  235. Restitusi : Suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi.
  236. Resume bap tersangka/saksi : Ikhtisar dan kesimpulan dari hasil penyidikan tindak pidana yang terjadi yang dituangkan dalam bentuk dan persyaratan penulisan tertentu.
  237. Rekonvensi merupakan upaya tergugat untuk menggugat balik penggugat dalam suatu perkara yang sama. Tuntutan balik ini dimungkinan untuk hukum perdata, gugatan rekonvensi dalam hukum perdata dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat.
  238. Saksi a charge : Saksi yang memberatkan/memberikan keterangan yang memberatkan.
  239. Saksi a decharge : Saksi yang meringankan/memberikan keterangan yang meringankan.
  240. Saksi korban : Saksi yang mengalami kejadian dan yang dirugikan atas suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain.
  241. Saksi mahkota : Terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lain.
  242. Sita : Suatu tindakan yang diambil oleh pengadilan melalui penetapan hakim, atas permohonan penggugat, guna menempatkan barang (tetap/bergerak) berada dalam penguasaan/pengawasan pengadilan, sampai adanya suatu putusan yang pasti tentang suatu perkara.
  243. Sita conservatoir : Sita jaminan terhadap barang milik debitur untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
  244. Sitaan gadai : Sitaan yang menyangkut barang milik orang lain yang kebetulan si pailit sebagai pemegang gadai.
  245. Surat dakwaan : Surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan, serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dan undang-undang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apabila betul, terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.
  246. Surat dakwaan campuran : Bentuk gabungan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan subsider atau dengan bentuk-bentuk dakwaan lainnya.
  247. Svanungverhaits : ketegangan antara ketiga konsep dasar hukum(kepastian,keadilan, kemanfaatan).
  248. Saksi : Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
  249. Saksi ahli/keterangan ahli : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
  250. Sitaan umum : Sitaan terhadap harta benda dengan kepemilikan mutlak pada debitur, baik yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang yang digunakan sebagai jaminan pemberesan piutang debitur kepada para krediturnya.
  251. Sita maritaal : Penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengdilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.
  252. Sita revindicatoir : Penyitaan yang diminta oleh pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain, diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal.
  253. Surat gugatan : Surat permohonan (surat rekes) yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang.
  254. Surat keterangan ahli : Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
  255. Surat kuasa : Surat yang menerangkan bahwa seseorang memberikan kewenangan dan hak kepada orang yang ditujukan untuk melakukan sebagian urusannya di depan hukum.
  256. Surat Dakwaan Subsidair : Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya.
  257. Surat kuasa khusus : Kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku khusus untuk hal-hal tertentu saja.
  258. Surat sanggup : Surat yang dibuat oleh seseorang yang berisikan suatu kesanggupan untuk membayar sejumlah uang pada waktu tertentu.
  259. Surat sanggup bayar/ promissory note : Surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya.
  260. Surat dakwaan kumulasi : Surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Dakwaan jenis ini bisa merupakan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus atau kumulasi tindak pidana ataupun gabungan dari beberapa terdakwa karena kumulas terdakwanya karena melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain. Biasanya terdapat kata “dan”
  261. Terdakwa : Seorang tersangka (seseorang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana) yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (pasal 1 butir 14 jo. butir 15 KUHAP).
  262. Tergugat : Orang atau badan hukum yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan hak oleh penggugat.
  263. Terpidana : Seseorang yang didasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah.
  264. Traditio : (Penyerahan), dari bezitter lama ke yang baru
  265. Tersangka : Adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
  266. Tertangkap tangan : Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
  267. Tindak pidana : Setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
  268. Tindak pidana korupsi adalah : a. tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat; b. perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan; c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 kitab undang-undang hukum pidana.
  269. Tindak pidana aduan : Tindak-tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas permintaan dari pihak penderita atau korban.
  270. Tindak pidana khusus : Tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang undang khusus, yang memberikan peraturann khusus tentang tata cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP.
  271. Tindakan penahanan : Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
  272. Traktat : perjanjian antara kedua negara ataw lebih yang bisa mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat mengikat.
  273. Tuntutan hak : Tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”.
  274. Unifikasi : adalah penyatuan berbagai hukum  menjadi suatu kesatuan hukum secara sistimatis yang berlaku bagi seluruh warga negara di suatu negara.
  275. Upaya hukum : Hak atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kuhap.
  276. Upaya hukum biasa : Upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa/ penasihat hukumnya atau penuntut umum pada tingkat banding atau tingkat kasasi untuk mengadili dan memutus sendiri suatu perkara yang sudah diputus oleh pengadilan tingkat pertama (untuk banding) atau putusan pengadilan tinggi (untuk kasasi).
  277. Upaya paksa : Upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan.
  278. Utang piutang : Memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia (orang yang meminjam) akan mengembalikannya sejumlah yang dipinjam.
  279. Wanprestasi : Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
  280. Yurisprudensi : Suatu keputusan hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkaranya yang sama
  281. Yurisprudensi (hk adm negara) : Ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam peradilan, yang kemudian dipakai sebagai landasan hukum