Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Tampilkan postingan dengan label Hukum Perburuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perburuhan. Tampilkan semua postingan

CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja sangat diperlukan demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan kondusif antara kedua belah pihak.

Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan.Meskipun keduanya memiliki kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih sering terjadi antara pengusaha dan pekerja.

Bila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, perundingan bipartit bisa menjadi solusi utama agar mencapai hubungan industrial yang harmonis. Hubungan industrial yang kondusif antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Menurut pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU 13/2003), hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbeda dengan hubungan kerja yang merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh saja, hubungan industrial melibatkan pemerintah di dalamnya.

Hubungan industrial tersebut diharapkan tercipta sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan Bangsa.

APA SAJA TUGAS MASING-MASING PIHAK TERKAIT DALAM MELAKSANAKAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Pasal 102 UU 13/2003 menegaskan tugas masing-masing pihak sebagai berikut:Pemerintah: menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya: menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Pengusaha dan organisasi pengusahanya: menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

HUBUNGAN INDUSTRIAL DAPAT DILAKSANAKAN MELALUI SARANA APA SAJA?

Untuk menciptakan hubungan industrial yang baik, pasal 103 UU 13/2003 menyebut, hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui sarana:Serikat pekerja/serikat buruh
Organisasi pengusaha
Lembaga kerjasama bipartit
Lembaga kerjasama tripartit
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial menyebut perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan.

APA SAJA JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Perselisihan hubungan industrial meliputi:Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 2 UU 2/2004).
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 3 UU 2/2004).
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pasal 1 angka 4 UU 2/2004).
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (pasal 1 angka 5 UU 2/2004).

BAGAIMANA CARA MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Aturan Ketenagakerjaan menegaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Namun dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU 2/2004).

Prosedur yang disediakan antara lain melalui mediasi hubungan industrial atau konsiliasi hubungan industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang ada pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi, yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERUNDINGAN BIPARTIT?

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004, perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja / serikat buruh atau antara serikat pekerja / serikat buruh dan serikat pekerja / serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih. Perundingan Bipartit adalah perundingan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Penyelesaian melalui perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak perundingan pertama dilaksanakan. Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial. Bila bipartit gagal, maka perselisihan hubungan industrial harus dimintakan untuk diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, atau konsiliasi hubungan industrial, atau arbitrase hubungan industrial sebelum dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI MEDIASI?

Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator Hubungan Industrial yang disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 11 dan 12 UU 2/2004).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI KONSILIASI?

Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 13 dan 14 UU 2/2004).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI ARBITRASE?

Arbitrase Hubungan Industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (pasal 1 angka 15 dan 16 UU 2/2204).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)?

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota Provinsi yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja (pasal 1 angka 17 UU 2/2204).

Menurut pasal 56 UU 2/2004, Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus:Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan

Sumber:
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon?

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon? Jawabannya Ya Berhak.

Dasar Hukumnya:

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1). Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai

berikut:

(1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Bumh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa $orce majeur);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/ Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/ Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain da-lam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. Pekerja/ Buruh memasuki usia pensiun; atau
o. Pekerja/Buruh meninggal dunia.
(2). Selain alasan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan Pemutusan Hubungan Kerja lainnya dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berapa Sih Besaran Pesangon Bagi Karyawan yang Di PHK dan Mengundurkan Diri?

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tqiuh) bulan Upah;
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan Upah;
  • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
  • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  • biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat Pekerja/ Buruh diterima bekerja;
  • hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pengertian Buruh, Tenaga Kerja, Pekerja, Majikan, Pengusaha Dan Perusahaan

1.    Buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1 (1a) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.

2.   Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

3.   Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

4.    Majikan adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan buruh (Pasal 1 ayat (1b) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.

5.    Pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum

a.   yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.

b.  yang  secara berdiri sendiri  menjalankan perusahaan bukan miliknya

c.  yang    berada    di    wilayah    Indonesia    mewakili perusahaan  milik  sendiri  maupun  bukan  miliknya yang  bekedudukan  di  Indonesia  (Pasal  1  angka  5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Perusahaan  adalah :

I.   Setiap bentuk usaha yang berbadan hukumatau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau milik badan hukum, baik milikswasta maupun milik negara yang mempekerjakan  pekerja/buruh  dengan  membayar  upah atau imbalan dalam bentuk lain.

II. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus  dan  mempekerjakan  orang  lain  dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

III.  Menurut         Undang-Undang         tentang         Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000, perusahaan adalah: Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan  alam bentuk lain (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000).

IV.  Pengertian     perusahaan     menurut     Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1992 adalah Setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan mencari keuntungan maupun tidak, baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992).

PENGERTIAN HUKUM HUKUM KETENAGA-KERJAAN

Pandangan Hukum  Perburuhan/Hukum Ketenagakerjaan  menurut  para   hli   hukum, diantaranya yaitu :

  • MOLENAAR

Hukum   perburuhan/ ARBEIDSRECHT   adalah   bagian   dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Pada pengertian tersebut hendaklah dibatasi pada hukum yang bersangkutan dengan orang-orang yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja/bekerja pada orang lain.

  • M.G. LEVENBACH

Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang bersangkut paut dengan hubungan kerja.Dalam pengertian tersebut hubungan kerja  tidak hanya mengatur mereka yang terikat pada hubungan kerja saja, melainkan  termasuk  juga  peraturan  mengenai  persiapan bagi hubungan kerja. Contoh : peraturan untuk magang.

  • VAN ESVELD

Hukum Perburuhan tidak  membatasi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan saja, tetapi juga meliputi pekerjaan yang  dilakukan  oleh swa  pekerja  yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.

  • MOK

Hukum Perburuhanadalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dila ukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandenngan dengan pekerjaan itu.

  • Prof. IMAN SOEPOMO

Hukum  Perburuhan  adalah  himpunan  peraturan  baik  tertulis maupun tidak, yang  berkenaan dengan  kejadian  di  mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Himpunan peraturan tersebut hendaknya   jangan   diartikan seolah olah peraturan perburuhan telah lengkap dan  telah dihimpun secara sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perburuhan Peraturan yang tertulis seperti : Undang- Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lainya tentu tidak akan fleksibel dalam setiap waktu. Sehubungan dengan itu banyak ketentuan  tentang  perburuhan harus  ditemukan  dalam aturan yang tidak tertulis yang berbentuk kebiasaan. Peraturan-peraturan itu baik dalam arti formil maupun materiil ada yang ditetapkan oleh penguasa dari pusat yang sifatnya heteronoom dan ada pula yang timbul di dunia perburuhan sendiri ditetapkan oleh buruh dan majikan atau ditetapkan oleh majikan sendiri yang sifatnya otonoom.