Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Tampilkan postingan dengan label Pengantar Ilmu Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengantar Ilmu Hukum. Tampilkan semua postingan

Pengertian Hukum Publik dan Hukum Privat

Hukum terbagi menjadi 2 kelompok yaitu hukum publik dan hukum privat. Tujuan dari diberlakukannya hukum adalah untuk membatasi perilaku masyarakat dan juga mewujudkan keadilan di dalam masyarakat.

Hukum publik adalah keseluruhan peraturan negara untuk mengatur bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya, jadi merupakan perlindungan kepentingan negara. Maka dari itu untuk tujuan kepentingan umum, pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.

ciri-ciri hukum publik antara lain:
  • Ruang lingkupnya merupakan kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan
  • Penguasa negara berkedudukan lebih tinggi ketimbang orang perseorangan.
  • Hukum publik ditegakkan demi tujuan bersama dan kepentingan masyarakat luas.
  • Ada banyak hubungan antar negara, masyarakat, individu serta usur politik di dalamnya.
Macam-macam hukum publik
  • Hukum tata negara
  • Hukum tata usaha negara
  • Hukum internasional
  • Hukum pidana
  • Hukum Perpajakan
  • Hukum Lingkungan
  • Hukum PHI

Pengertian Hukum Privat
hukum privat adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lainnya dalam pergaulan masyarakat. bidang hukum privat meliputi hukum tentang orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum perikatan, dan hukum waris.

Hukum privat mengatur tentang hubungan dalam masyarakat yang menyangkut:
  • Keluarga dan kekayaan para warga/individu.
  • Hubungan antar warga/individu.
Hukum yang Termasuk Hukum Privat
  • Hukum Perdata tentang Pribadi
  • Hukum Perdata tentang Harta Kekayaan
  • Hukum Benda Tetap (Agraria) dan Hukum Benda Lepas
  • Hukum Perdata tentang Perikatan
  • Hukum Perjanjian
  • Hukum Perdata tentang Hak Immaterial
  • Hukum Keluarga dan Hukum Waris
  • Hukum Dagang
  • Hukum PHI

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif adalah Hukum yang baru, tidak akan menghukumi perbuatan di masa lalu. Hukum hanya boleh berlaku maju ke masa depan dan bukan ke masa lalu.
Asas ini kuat dalam bidang pidana, goyah dalam hukum administrasi, tidak berlaku sepenuhnya pada hukum internasional, dan secara umum tidak boleh diberlakukan pada hukum perdata.
Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih terdahulu daripada perbuatan itu”
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak.
Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir.
Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (“UU Pengadilan HAM”) “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Asas Asas Hukum

Prinsip merupakan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Berikut adalah pengertian prinsip atau asas hukum menurut para ahli:
G. W. Paton mendefinisikan asas adalah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas yang menjadi dasar bagi aturan atau kaidah hukum. Dengan demikian, asas bersifat lebih abstrak, sedangkan aturan atau kaidah hukum sifatnya konkret mengenai perilaku atau tindakan hukum tertentu.
A. R. Lacey menjelaskan asas hukum memiliki cakupan yang luas, artinya dapat menjadi dasar ilmiah berbagai aturan atau kaidah hukum untuk mengatur perilaku manusia yang menimbulkan akibat hukum yang diharapkan.
Paul Scholten mengartikan asas hukum sebagai tendensi yang disyaratkan kepada hukum oleh paham kesusilaan, artinya, asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum. Masing-masing pikiran dasar dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan hakim.
  • Undang-Undang Tidak Dapat Berlaku Surut: peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan hadir. Akan tetapi, untuk mengabaikan asas ini dimungkinkan, dalam rangka memenuhi keadilan masyarakat.
  • Undang-Undang Tidak Dapat Diganggu Gugat: undang-undang tidak dapat diuji oleh badan peradilan, melainkan oleh pembentuk undang-undang itu sendiri. Asas ini berlaku jika tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi di sebuah negara. Dengan kata lain, asas ini mengatur bahwa undang-undang dapat di-review jika bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
  • Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peraturan yang lebih tinggi akan mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan.
  • Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali: peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.
  • Kebebasan Berkontrak: freedom of contract, party autonomy liberty of contract. Kebebasan berkontrak artinya kebebasan untuk memilih dan membuat kontrak atau perjanjian, menentukan isi kontrak atau perjanjian, dan memilih subjeknya.
  • Konsensualisme: Asas ini menekankan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan sudah ada sejak detik tercapaikan kesepatakan para pihak. Artinya, perjanjian ada sejak tercapainya kata sepakat atau konsensus antara pihak mengenai pokok perjanjian.
  • Pacta Sunt Servanda: Berdasarkan asas ini, masing-masing pihak perjanjian wajib melaksanakan isi perjanjian demi kepastian hukum. Asas ini tidak berdiri sendiri dan memiliki kaitan dengan asas iktikad baik atau good faith. Asas ini merupakan fundamental, karena melandasi lahirnya perjanjian. Pada perjanjian, janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi pihak yang membuatnya.
  • Iktikad Baik: Asas iktikad baik menghendaki bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dengan siapa pihak membuat perjanjian, dan setiap perjanjin selalu didasari pada asas iktikad baik, tidak melanggar peraturan perundang-undangan, serta tidak melanggar kepentingan masyarakat.
  • Pacta tertiis nec nocent nec prosunt: Perjanjian tidak dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pihak ketiga.
  • Absolut: Asas ini disebut juga sebagai asas hukum memaksa atau dwingendrecht, yakni suatu benda hanya dapat diadakan hak kebendaan sebagaimana yang telah disebut dalam undang-undang. Hak-hak kebendaan tidak akan memberikan wewenang yang lain daripada apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
  • Dapat Dipindahtangankan: Menurut asas ini, semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan hak mendiami.
  • Percampuran: Berdasarkan asas ini, hak kebendaan memiliki wewenang terbatas. Artinya, hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin atas hak miliknya sendiri. Tidak dapat orang tersebut untuk kepentingannya sendiri memperoleh hak gadai, hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tangan, maka hak yang membebani itu menjadi lenyap. Hak ini juga dikenal dengan vermenging.
  • Perlakuan yang Berlainan Terhadap Benda Bergerak dan Tidak Bergerak: Antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak ada perbedaan pengaturan dalam hal terjadi peristiwa hukum yang berkaitan dengan penyerahan, pembebanan, kepemilikan, kedaluwarsa, dan jura in re aliena yang diadakan.
  • Publiciteit: Asas ini dianut atas kebendaan tidak bergerak, yang diberikan hak kebendaan. Hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan didaftarkan dalam register umum. Sedangkan untuk benda bergerak cukup dengan penyerahan tanpa pendaftaran dalam register umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
  • Nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali: Hanya hukum yang tertulis saja yang dapat menentukan apakah norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukum menurut hukum pidana atau tidak. Asas ini juga dikenal dengan sebutan asas legalitas, yakni tidak ada tindak pidana tanpa ada undang-undang yang mendahului.
  • Penafsiran Secara Analogis: Penafsiran secara analogis pada dasarnya tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana. Misalnya, peraturan tentang nullum delictum dan seterusnya melarang penggunaan secara analogis, karena perbuatan semacam itu bukan hanya dapat memperluas banyaknya delik yang ditentukan undang-undang, melainkan juga dapat menjurus pada lebih diperberat atau diperingannya hukuman yang dijatuhkan bagi perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang.
  • Tiada Pidana Tanpa Kesahalahan: Berdasarkan asas ini, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam delik, namun tetap perlu dibuktikan apakah ia dapat dipertanggungjawabkan atau tidak atas perbuatannya tersebut, artinya apakah ia memiliki kesalahan atau tidak.
  • Good Governance: Prinsip ini merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Jika dilihat dari segi functional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya.
  • Asas Kesadaran Hukum: Asas ini dimaknai baik warga masyarakat maupun penguasa, penegak hukum harus dapat memahami, menghayati dan mematuhi hukum sesuai doktrin negara hukum yang demokratis. Dengan diterapkannya prinsip kesadaran hukum, maka hukum dapat bekerja sescara efektif mencapai tujuan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
  • Rebus sic stantibus: Asas ini artinya perjanjian yang telah berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental. Asas ini merupakan salah satu alasan yang dapat digunakan untuk mengakhiri atau menunda berlakunya perjanjian.




Adagium atau Pribahasa Hukum

Menurut KBBI adagium adalah sebuah pepatah atau peribahasa.
  • Ubi societas ibi ius: wherever there is society, there is law atau di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.
  • Fiat Justicia Ruat Caelum: let justice be done, though the heavens falls, atau walaupun esok dunia musnah/walaupun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.
  • Unus Testis Nullus Testis: satu saksi bukan merupakan saksi.
  • Ius Curia Novit: hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum.
  • Ne Bis in Idem: sebuah perkara dengan objek yang sama, para pihak yang sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
  • In Dubio Pro Reo: dalam hal hakim tidak memperoleh keyakinan, hakim wajib memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa.
  • Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars: para pihak harus diperlakukan secara adil dengan diberi kesempatan yang sama secara adil dan berimbang, artinya hakim harus mendengar keterangan masing-masing pihak di persidangan.
  • Absolute sentienfia expositore non indiget: Sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
  • Accipere quid ut justitiam focias non est team accipere quam exiorquere: Menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan akan mengarah ke tindakan pemerasan, bukan hadiah.
  • Adaequatio intellectus et rei: adanya kesesuaian pikiran dengan objek.
  • Communi observantia non est recedendum: Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang menandakan maksud yang terdapat dalam pikirannya.
  • Cujus est dominium, ejus est periculum: Risiko atas suatu kepemilikan ditanggung oleh pemilik.
  • Culpue poena par esto: Jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan.
  • Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist: Saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata.
  • Cum aliquis renunciaverit sociatati, solvitur societas: Saat rekan telah meninggalkan persekutuannya, maka persekutuan tersebut dinyatakan bubar.
  • Cum duo inter se pugnantia reperiuntur in testamento, iltimum ratum est: Jika terdapat perbedaan dalam suatu hakikat, maka terlihat jelas adanya 2 persepsi yang berbeda.
  • Cum letitimae nuptiae factae sunt, patrem liberi sequuntur: Anak yang terlahir dari sebuah perkawinan yang sah mengikuti kondisi ayahnya. Da tua sunt, post mortem tune tua sunt: Berikanlah benda-benda kepunyaanmu saat kau masih memilikinya; setelah meninggal benda-benda tersebut bukan kepunyaanmu lagi.
  • Ei incumbit probatio quidicit, nonqui negat: Beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal.
  • Debet quis juri subjacere rrbi delinquit: Seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan.
  • Divortium dicitur a divertendo, quia vir divertitur ab uxore: 'Divorce' (perceraian) berasal dari kata 'Divertendo', artinya seorang pria dialihkan dari istrinya.
  • Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur: Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.
  • Droil ne done, pluis que soit demaunde: Hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan.
  • Equality before the law: Setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.
  • Facta sunt potentiora verbis: Perbuatan (atau fakta) lebih kuat dari kata-kata.
  • Fiat justicia ruat caelum: Keadilan harus ditegakkan, walau harus mengorbankan kebaikan.
  • Filius est nomen baturae, sed haeres nomen: "anak" nama yang diberikan oleh alam, tetapi "ahli waris" adalah nama yang diberikan hukum.
  • Filius in utero matris est pars viscerum matrix: Seorang anak di dalam kandungan adalah bagian dari kehidupan ibunya.
  • Frustra legis auxilium quareit qui in legem committit: Adalah sia-sia bagi seseorang yang menentang hukum tapi dia sendiri meminta bantuan hukum.
  • Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant: Sesuatu dinyatakan sempurnanya bila setiap bagiannya komplet.
  • Heares est cadem persona cum antecessore: Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya.
  • Ignorantia judicis est calanaitax innocentis: Ketidaktahuan hakim adalah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah.
  • Ignorantia juris non exucusat: Ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan.
  • Ignorantia excusatur non juris sed facti: Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.
  • Inde datae leges be fortior omnia posset: Hukum dibuat, jika tidak maka yang terbuat akan mempunyai kekuatan yang tidak terbatas.
  • In du bio pro reo: jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan meringankan terdakwa.
  • Index animi sermo: Cara seorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya.
  • Iniquum est aliquem rei sui esse judicem: Adalah tidak adil bagi seseorang untuk diadili pada perkaranya sendiri.
  1. Interset reipublicae res judicatoas non rescindi: Adalah kepentingan negara bahwa suatu keputusan tidak dapat diganggu gugat.
  • Judex set lex laguens: Sang hakim ialah hukum yang berbicara.
  • Judex debet judicare secundum allegata et probata: Seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.
  • Judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem
  • conscientiae, ne sit diabolus: Seorang hakim harus mempunyai dua hal; suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani; kecuali dia mempunyai sifat yang kejam.
  • Judex non putest esse testis in propria cause: Seorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri.
  • Judex non reddit plus wuam quod petens ipsse requirit: Seorang hakim tidak memberikan permintaan lebih banyak dari sipenuntut.
  • Judicandum est legibus non exemplis.: Seorang hakim tidak dibatasi untuk menjelaskan penilaiannya sendiri.
  • Judicia poxteriora sunt in lege fortiora: Keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum.
  • Justitiae non est neganda, non differenda: Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.
  • Jurare eat deum in testem vocare et est actus divini cultus: Memberikan sumpah ialah sama halnya dengan memanggil Tuhan sebagai saksi hal itu adalah hal keagamaan.
  • Juris quidem ignorantium cuique nocere, facti verum ignorantiam non nocere: Ketidaktahuan hukum merugikan semua orang; tetapi ketidaktahuan fakta tidak.
  • Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam: Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
  • Lex posterior derogat priori: Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama.
  • Lex prospcit, non respicit: Hukum melihat ke depan bukan ke belakang.
  • Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua: Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak.
  • Lex semper dabit remedium: Hukum selalu memberi obat.
  • Nemo judex in causa sua: hakim tidak boleh mengatur atau mengadili dirinya sendiri.
  • Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet: tidak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki.
  • Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali: suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat.
  • Opinio necessitatis: keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan.
  • Pacta sunt servanda: setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan iktikad baik.
  • Politiae legius non leges politii adoptandae: politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
  • Presumptio iures de iure: semua orang dianggap tahu hukum. Dikenal juga sebagai asas fiksi hukum.
  • Presumpito iustae causa: suatu keputusan pemerintahan dianggap absah sampai ada putusan hakim berkekuatan hukum mengikat yang menyatakan sebaliknya.
  • Presumption of innocence: asas praduga tidak bersalah: seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap.
  • Quiquid est in territorio, etiam est de territorio: asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu.
  • Reo negate actori incumbit probatio: jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.
  • Res nullius credit occupanti: benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa diambil atau dimiliki.
  • Salus populi suprema lex: kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara.
  • Similia similibus: dalam perkara yang sama, harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih.
  • Spreekhuis van de wet: apa kata undang-undang itulah hukumnya.
  • Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux: hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya.
  • Testimonium de auditu: kesaksian yang didengar dari orang lain.
  • Ubi jus ibi remedium: di mana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya, atau memperbaikinya jika hak tersebut dilanggar.
  • Ubi societas, ibi jus: di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.
  • Ut sementem faceris ita metes: siapa yang menanam sesuatu dia yang akan memetik hasilnya.
  • Van rechtswege nieting; null and void: suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum.
  • Volenti non fit iniuria; nulla iniuria est, quae in volentem fiat: tidak ada ketidakadilan yang dilakukan kepada seseorang yang menginginkan hal itu dilakukan.
  • Vox populi vox dei: suara rakyat adalah suara Tuhan.


Pengertian Sumber Hukum

Pengertian Sumber Hukum

Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. Hal ini disebabkan berkenaan dengan sudut pandang mana sumber hukum itu diartikan. Misalnya sumber hukum dilihat dari sisi filsafat tidak sama dengan sumber hukum dari sisi sejarah atau historis. Demikian pula pengertian sumber hukum dari sisi ekonomi tidak sama dengan pengertian sumber hukum dari sisi sosiologis

Menurut Paton (1972: 188), para ahli hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam dua arti yaitu sumber hukum tempat orang- orang untuk mengetahui hukum dan sumber hukum bagi pembentuk undang-undang menggali bahan-bahan dalam penyusunan undang- undang. Sumber hukum dalam arti tempat orang-orang mengetahui hukum adalah semua sumber-sumber hukum tertulis dan sumber- sumber hukum lainnya yang dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi orang-orang tertentu. Untuk mencari sumber hukum berupa undang-undang, outusan hakim di pengadilan, akta, buku literatur hukum, jurnal. Sementara sumber hukum bagi pembentuk undang-undang untuk menggali bahan-bahan dalam penyusunan undang-undang berkaitan dengan penyiapan rancangan undang-undang.

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa pengertian sumber hukum dapat berbeda-beda. Untuk itu sebagai pegangan dalam mempelajari makna sumber hukum, di bawah ini pengertian dari beberapa ahli tentang sumber hukum.

Zevenbergen sebagaimana dikutip Achmad Ali (1996:116), menyatakan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum, sumber yang menimbulkan hukum.

Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang   bersifat   memaksa,   yakni   yang   aturan-aturan   yang   kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. C.S.T Kansil (1989: 46).

 

Sumber-Sumber Hukum Material Dan Formal

Dalam sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun sistem hukum Angloxason sumber hukum dibedakan atas dua yakni sumber hukum dalam arti materil dan sumber hukum dalam arti formal. Khusus dalam sistem hukum Eropa Kontinental lebih fokus pada sumber hukum dalam arti formal. Alasanya adalah sumber hukum formal berkaitan dengan proses terjadinya hukum dan mengikat masyarakat. Selain itu sumber hukum formal dibutuhkan untuk keperluan praktis yaitu aspek bekerjanya hukum.

Sementara dalam sistem hukum Angloxason tetap melihat sumber hukum dalam dua pengetian di atas yakni materil dan formal. Dalam sistem hukum Angloxason, sumber hukum materil diartikan sumber berasalnya substansi hukum, sedangkan sumber hukum formal diartikan sebagai sumber berasalnya kekuatan mengikat.

Untuk Indonesia sendiri yang merupakan eks jajahan Kolonial Belanda lebih condong ke sistem Eropa Kontinental. Namun demikian dalam  praktek  penggunaan  sumber  hukum  tetap  mengacu  pada sumber hukum kedua-duanya. Untuk di bawah ini akan dikemukakan makna sumber menurut para ahli hukum di Indonesia, seperti sebagai berikut:

C.S.T Kansil (1989: 46). Menguraikan sebagai berikut: Sumber hukum itu dapat kita tinjau dari material dan segi formal.

1.    sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.

Contoh:

a.    Seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan- kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum;

b.    Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

 

2.    Sumber-sumber hukum formal antara lain :

a.    Undang-undang (statute)

b.    Kebiasaan (custom)

c.    Keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie)

d.    Traktat (treaty)

e.    Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)

3.    Undang-undang.

Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni:

a.    Undang-undang dalam arti formal: ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama- sama dengan parlemen);

b.    Undang-undang dalam arti material, ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang.

Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang  itu  mulai  berlaku  30  hari  sesudah  diundangkan dalam L.N untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam L.N. sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum: “Setiap Orang Dianggap Telah Mengetahui Adanya Sesuatu Undang- Undang”   hal ini berarti bahwa jika ada seseorang yang melanggar undang-undang tersebut, tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan: “Saya tidak tahu menahu adanya undang-undang itu:.

Berakhirnya kekuatan berlaku suatu undang-undang

Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika :

a.    Jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau;

b.    Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi;

c.    Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi,

d.    Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku.

Pengertian Lembaran Negara dan Berita Negara

Pada jaman Hindia-Belanda Lembaran Negara disebut Staatsblad (disingkat Stb, atau S.). setelah suatu undang-undang diundangkan dalam L.N., kemudian diumumkan dalam Berita Negara, setelah itu diumumkan dalam Siaran Pemerintah melalui radio/televise dan melalui surat-surat kabar.

Pada jaman Hindia-Belanda, Berita Negara disebut De Javasche Courant, dan dijaman Jepang disebut Kan Po. Adapun beda antara Lembaran Negara dan Berita Negara ialah;

a.    Lembaran Negara ialah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Penjelasan dari pada suatu undang-undang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara, yang mempunyai nomor   berurut. Lembaran negara diterbitkan oleh Departemen Kehakiman (sekarang Sekertariat Negara), yang disebut dengan tahun penerbitannya dan nomor berurut.

b.    Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi Departemen Kehakiman (Sekertariat Negara) yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan dan pemerintah dan memuat surat- surat yang dianggap perlu seperti: akta pendirian P.T Firma, Koperasi, nama-nama orang dinaturalisasi menjadi warga negara Indonesia dan lain-lain.

4.    Kebiasaan (custom).

Kebiasan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang- ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

5.    Keputusan Hakim (Jurisprudensi)

Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada jaman Hindia-Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia yang disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan-peraturan untuk Indonesia).

Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Ada dua macam jurisprudensi yaitu;

a.    Jurisprudensi tetap

b.    Jurisprudensi tidak tetap.

Adapun yang dinamakan jurisprudensi tetap, ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan.

Seorang  hakim  mengikuti  keputusan  hakim  yang  terdahulu itu karena   sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa. Jelaslah bahwa jurisprudensi adalah juga sumber hukum tersendiri.

6.    Traktat (Treaty)

Istilah traktat sering digunakan untuk menggantikan istilah lain dari perjanjian yang dipakai dalam lapangan ilmu hukum. Dengan demikian antara istilah traktat dan perjanjian mengandung makna yang sama.

Apabila dua orang mengadakan kata-sepakat (consensus) tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu.

Hal ini disebut pacta Sunt Servanda yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.

Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian antar negara atau perjanjian internasional! Ataupun traktat. Traktat juga mengikat warga negara-warganegara dari negara-negara yang bersangkutan.

Jika traktat diadakan hanya oleh dua negara, maka traktat itu adalah traktat bilateral, misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Cina tentang “Dwi-Kewarganegaraan”.      Jika  diadakan  lebih dari dua negara, maka traktat itu adalah traktat multilateral, misalnya perjanjian internasional tentang pertahanan bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.

Apabila ada Traktat Multilateral memberikan kesempatan kepada negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya, tetapi kemudian juga menjadi pihaknya, maka traktat tersebut adalah Traktat Kolektif atau Traktat Terbuka, misalnya Piagam Persekutuan Bangsa- Bangsa.

7.    Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Pendapat para Sarjana Hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.

Dalam Jurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang Sarjana Hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang Sarjana Hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya; apalagi jika Sarjana Hukum itu menentukan bagaimana seharusnya pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.

Terutama   dalam   hubungan   internasional   pendapat-pendapat para Sarjana Hukum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.

Mahkamah Internasional dalam Piagam Internasional (Statute of the International Court of Justice) Pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman yang antara lain ialah :

a.    Perjanjian-perjanjian internasional (International convention)

b.    Kebiasaan-kebiasaan internasiona (International customs)

c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilized nations)

d.    Keputusan  hakim  (judical  decisions)  dan  pendapat-pendapat sarjana hukum.

Moral Dan Hukum

Sesungguhnya istilah moral berhubungan dengan manusia sebagai individu, sedangkan hukum (kebiasaan, sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial.

Ada adaqium yang menyatakan “Undang-Undang kalau tidak disertai moralitas”. Adaqium itu dapat diterjemahkan mengandung makna bahwa hukum tidak berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum kosong tanpa moralitas. Karenanya kualitas hukum harus selalu diukur dengan moral.

Hal yang tak terbantahkan walaupun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dan moral.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2007), moral dan hukum terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya kerjanya. Untuk perbedaan antara keduanya diuraikan di bawah ini:
  • Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
  1. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
  2. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat.
  • Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
  1. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi atau memberi peraturan-peraturan yang bersifat batiniah (ditujukan kepada sikap lahir).
  2. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.
  • Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal asalnya :
  1. Moral itu otonom
  2. Hukum itu heteronom (moral objektif atau positif)
  • Perbedaan hukum dan moral dalam cara menjamin pelaksanaannya.
Hukum sebagai peraturan tentang perilaku yang bersifat heteronom berbeda dengan moral dalam cara menjamin pelaksanaannya. Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri manusia. Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah moral. Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan. Hakikat perintah moral adalah bahwa harus dijalankan dengan sukarela. Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia. Kekuasaan ini tidak asing juga pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting. 
  • Perbedaan hukum dan moral dalam daya kerjanya.
Hukum mempunyai 2 daya kerja yakni memberika hak dan kewajiban yang bersifat normatif dan atributif. Moral hanya membebani manusia dengan kewajiban semata-mata Bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan penjabaran dari perbedaan tujuan.

Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib dan membebani manusia dengan kewajiban demi manusia lain. Moral yang bertujuan penyempurnaan manusia mengarahkan peraturan- peraturannya kedapa manusia sebagai individu demi manusia itu sendiri.

Hukum menuntut legalitas yang dituntut adalah pelaksaan atau pentaatan kaedah semata-mata. Sementara moral (kesusilaan) menuntut moralitas yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib. Kewajiban adalah beban kontraktual sedangkan tanggung jawab adalah beban moral.

Kaidah Hukum

Istilah kaidah berasal dari bahasa Arab yang berarti tata krama atau norma. Kaidah sendiri dapat diartikan sebagai aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup. Dengan kata lain kaidah adalah petunjuk hidup yang harus diikuti.

Berdasarkan makna kaidah tersebut, dapat dikatakan kaidah mempunyai fungsi sebagai petunjuk kepada manusia bagiamana bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Sesungguhnya kaidah memiliki 2 (dua) macam isi, yakni sebagai berikut:

  • Kaidah berisi tentang perintah yakni keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
  • Kaidah  berisi  larangan  yakni  keharusan  bagi  seseorang  untuk tidak berbuat karena perbuatan tersebut dilarang atau tidak diperkenankan.

Dalam pergaulan hidup dikenal 4 (empat) macam jenis kaidah yakni sebagai berikut:

  • Kaidah Agama.

Kaidah agama adalah aturan tingkah laku yang berasal dari Tuhan dan diyakini oleh penganutnya. Penganut meyakini dan mengakui bahwa peraturan-peraturan hidup itu berasal dari Tuhan dan merupakan tuntunan hidup. 

  • Kaidah Kesusilaan.

Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Kaidah ini dianggap sebagai peraturan hidup sebagai suara hati. 

  • Kaidah Kesopanan.

Kaidah kesopanan adalah kaidah yang didasarkan atas kebiasaan, kepatutan atau kepantasan yang berulang-ulang dan berlaku ditengah-tengah masyarakat. Kaidah ini sering disebut juga dengan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan manusia itu sendiri. 

  • Kaidah Hukum.

Kaidah hukum adalah peraturan –peraturan yang timbul dari kaidah hukum itu sendiri, dibuat dalam bentuk tertulis ataupun tidak tertulis oleh penguasa, dan pelaksanaannya dipaksakan. Karenanya apabila tidak dilaksanakan mendapat sanksi.

Menurut Achmad Ali (1996: 57), asal-usul kaidah hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam yakni sebagai berikut:

  1. Kaidah  hukum  yang  berasal  dari  kaidah-kaidah  sosial  lainnya di dalam masyarakat yang berasal dari proses pemberian ulang, legitimasi, dari suatu kaidah sosial non hukum (moral, agama, kesopanan) menjadi suatu kaidah hukum.
  2. Kaidah hukum yang diturunkan oleh otoritas tertinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu dan langsung terwujud dalam bentuk kaidah hukum, serta sama sekali tidak berasal dari kaidah sosial ini sebelumnya.

Masyarakat dan Hukum

Masyarakat dan hukum merupakan satu kesatuan. Hukum tercipta karena adanya kehidupan bermasyarakat. Dalam bermasyarakat diperlukan ketertiban. Ketertiban dalam bermasyarakat dapat terwujud karena adanya norma dan hukum yang berlaku.

Keterkaitan antara hukum dan masyarakat sangat erat hubungannya. Hukum adalah pengatur kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat tidak mungkin bisa teratur kalau tidak ada hukum. Masyarakat merupakan tempat bagi berlakunya suatu hukum. Tidak mungkin ada atau berlakunya suatu hukum kalau masyarakatnya tidak ada.

Setiap manusia dalam memenuhi keperluan pokok hidupnya diperlukan bermasyarakat. Untuk memenuhi segala keperluan pokok hidupnya dalam keadaan sewajar dan sebaik mungkin diperlukan norma dan hukum sebagai sarana untuk mencapai ketertiban dan berkeadilan.

Melihat realitas bermasyarakat, maka hukum itu pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai berikut:
  • Memberikan perlindungan (proteksi) atas hak-hak setiap orang secara wajar, disamping juga menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya sehubungan dengan haknya tersebut.
  • Memberikan juga pembatasan (restriksi) atas hak-hak seseorang pada batas yang maksimal agar tidak mengganggu atau merugikan hak orang lain, disamping juga menetapkan batas-batas minimal kewajiban yang harus dipenuhinya demi wajarnya hak orang lain.
Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Ketertiban yang didukung oleh adanya tatanan ini pada pengamatan lebih lanjut ternyata terdiri dari berbagai tatanan yang mempunyai sifat-sifat yang berlain-lainan. Sifat yang berbeda-beda ini disebabkan oleh karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan itu mempunyai sifat-sifat yang tidak sama. Perbedaan yang terdapat pada tatanan-tatanan atau norma- normanya bisa dilihat dari segi tegangan antara ideal dan kenyataan, atau dalam kata-kata Radbruch “ein immer zunehmende Spannungsgrad zwischen Ideal und Wirklichkeit”. ( Satjipto Rahardjo, 1996: 13-14).

Melihat penjelasan diatas maka dapat diartikan bahwa manusia dalam bermasyarakat tidak dapat terlepas dari tatanan atau aturan aturan yang dibuat oleh manusia sendiri dan digunakan untuk pengendali tingkah laku dirinya sendiri.

Menurut Satjipto Rahardjo (2007: 7), sepanjang sejarahnya manusia meninggalkan jejak-jejak yakni manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama manusia tersebut berusaha melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri manakala dirasakan tidak cocok lagi. Manusia membangun dan mematuhi hukum (making the law) dan merobohkan hukum (breaking the law).

Melihat pendapat yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam hal ini masyarakat sengaja atau tidak sengaja tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri. Peraturan- peraturan yang dibuat oleh manusia tersebut menjadi pegangan bagi dirinya sendiri untuk menentukan perbuatan mana yang dibolehkan dan perbuatan mana yang tidak dibolehkan/dilarang.

Sebagaimana dikatakan di atas peraturan-peraturan atau katakanlah hukum dalam arti sebagian merupakan karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Artinya ini merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum itu mengandung rekaman dari ide- ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide seperti ini misalnya tentang membicarakan konsep keadilan.

Selanjutnya perkembangan peraturan-peraturan tersebut ditentukan juga oleh perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya peraturan- peraturan dikatakan baik apabila dalam masyarakat mengormati dan menghargai serta mentaati perturan-peraturan tersebut. Sebaliknya peraturan tersebut dikatakan buruk, apabila masyarakat tidak menghargai atau tidak mentaati peraturan tersebut. Dengan demikian masyarakat sangat menentukan keberlangsungan peraturan tersebut ke depan. Dapat saja peraturan tersebut diganti atau dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Apabila peraturan tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman, maka diusahakan ada yang baru dari peraturan tersebut. Misalnya pergantian peraturan perundang-undangan.

Hal yang perlu diingat bahwa agar peraturan-peraturan tersebut diharapkan memberi hasil yang baik, maka sasarannya perlu dipastikan secara benar. Artinya peraturan-peraturan tersebut dari sisi sasarannya harus jelas terlebih dahulu. Peraturan yang tidak atau kurang jelas jangan dipaksakan untuk diberlakukan, karena dapat menimbulkan kegoncangan di tengah-tengah masyarakat.

Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum

I. Pengertian Hukum

Dalam mempelajari tentang hukum biasanya diawali dengan pertanyaan “apa itu hukum”? atau what is law. Banyak perdebatan ahli mengenai jawaban pertanyaan tersebut. Perdebatan untuk menjawab pertanyaan tersebut sesungguhnya ada sejak zaman Plato, Socrates dan sampai sekarang.

Pada prinsipnya pengertian ataupun defenisi dari hukum sangat sulit untuk dirumuskan dalam suatu batasan yang paling sempurna. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum itu banyak segi dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Van Apeldoorn (1999: 1)) mengingatkan bahwa hampir semua para ahli hukum mencari-cari pengertian hukum yang paling tepat (,, Noch Suchen Die Juristen Eine Defenition Zu Ihrem Begriffe Von Recht,,)

Beberapa ahli hukum memberikan pandangan tentang pengertian dari hukum itu sendiri antara lain yaitu:

a. Van Apeldoorn

Beliau mengatakan bahwa hukum itu sangat sulit didefenisikan. Mencari pengertian tentang hukum sama dengan kita mencari pengertian sebuah gunung. Bedanya hukum tidak dapat dilihat dalam bentuk rupa atau wujudnya sedangkan gunung dapat kita lihat. Sehingga batasan gunung dilihat  dari  sudut  pandang  kita  adalah  sebuah  kenaikan muka bumi, agak curam dan pada segala penjuru lebih tinggi daripada  sekitaranya,  sedangkan  hukum  tidak  bisa  dilihat dari  sudut  pandang  kita,  karena  hukum  itu  sendiri  tidak dapat dilihat. Dalam kenyataan di masyarakat akan dijumpai dua golongan yang mempunyai pandangan terhadap hukum yakni : pertama, Ontwikkelde Leek yakni pandangan yang mengatakan bahwa hukum adalah Undang-Undang. Bagi golongan ini hukum itu tidak lain adalah deretan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang. Pandangan ini disebut juga dengan pandangan Legisme, karena terlalu mengagung- agungkan  Undang-Undang.  Kedua  adalah  Golongan  The Man  In  the  Street  yang  menyatakan  bahwa  hukum  itu adalah gedung pengadilan, hakim, pengacara, jaksa, jurusita dan lain sebagainya.   Akan tetapi Van Apeldoorn (1999: 6) sendiri mengatakan bahwa hukum itu adalah masyarakat itu sendiri ditinjau dari segi pergaulan hidup. Batasan ini dibuat hanyalah sekedar pegangan sementara bagi orang yang ingin mempelajari hukum.

b. E. Utrecht

Utrecht sebagaimana dikutip oleh C.S.T Kansil (1989: 38), memberikan batasan hukum sebagai berikut: “hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.

c. S.M. Amin

S.M. Amin sebagaimana dikutip oleh C.S.T Kansil (1989: 38), merumuskan hukum sebagai berikut: “kumpulan-kumpulan peratura yang terdiri dari dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.

d. J.C.T Simorangkir dan W. Sastropranoto

Defenisi hukum sebagai berikut: “hukum itu ialah peraturan- peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu” (C.S.T Kansil, 1989: 38).

e. M.H. Tirtaatmidjaja

Menurutnya  hukum  ialah  “semua  aturan  (norma)  yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian- jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya,  didenda  dan  sebagainya”  (C.S.T  Kansil, 1989: 38).

Kenyataan yang ada sekarang dalam pandangan masyarakat, ada dua pengertian yang sering identik dengan hukum yakni sebagai berikut:
  • Hukum diartikan sebagai hak, pengertian yang lebih mengarah kepada pengaturan moral yang dalam berbagai bahasa dan istilah sering disebut right, rechts, ius, droit diritto, derecho.
  • Hukum diartikan sebagai undang-undang yang dalam hal ini hanya merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, yang dalam berbagai bahasa atau istilah disebut law, lex, gesetz, legge, ley.

II. Ciri Ciri Hukum
  • adanya perintah dan/atau larangan;
  • perintah dan/atau larangan itu harus patut ditaati setiap orang. Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukkan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi.

Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri- ciri hukum yaitu (C.S.T Kansil, 1989: 39):


III. Sifat Dari Hukum

  • Hukum yang imperatif. Maksudnya hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa.
  • Hukum yang fakultatif. Maksudnya ialah hukum itu tidak secara a priori mengikat. Fakultatif bersifat sebagai pelengkap.

Bahwa agar tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara, maka haruslah kaedah-kaedah hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua  orang  mau  mentaati  kaedah-kaedah  hukum  itu,  dan  agar supaya sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaedah hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan itu harus diperlengkapi dengan unsur memaksa.

Dengan   demikian   hukum   itu   mempunyai   sifat   mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan  yang  dapat  memaksa  orang  supaya  mentaati  tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya (C.S.T Kansil, 1989: 40).

Selain pembagian sifat di atas, hukum juga mengenal pembagian sifat sebagai berikut:

Hukum itu mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Hukum itu juga dapat memaksa tiap-tiap orang untuk mematuhi tata tertib atau peraturan dalam kemasyarakatan. Akibatnya bila terdapat orang yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang tidak menaatinya.

IV. Unsur - Unsur Hukum

Beberapa beberapa unsur hukum menurut C.S.T Kansil, (1989: 38 - 39)  yaitu:

  1. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
  2. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
  3. peraturan itu bersifat memaksa;
  4. sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
V. Tujuan Hukum

Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat (C.S.T Kansil, 1989: 40).

Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung  terus  dan  diterima  oleh  seluruh  anggota  masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Dengan demikian, hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarak itu.

Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana hukum yang di antaranya sebagai berikut:

Mertokusumo  (2009),  menyebutkan  ada  3  (tiga)  unsur  cita hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherkeit), keadilan (Gerechtigkeit)    dan kemanfaatan (Zweckmasigkeit). Cita hukum tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu persatu, ketiganya harus diusahakan ada dalam setiap aturan hukum. Dalam pelaksanaannya ketiga unsur cita hukum tersebut  saling  membutuhkan.  Keadilan  tidak  akan  dapat  tercapai jika masyarakatnya kacau atau tidak tertib, ketertiban masyarakat memerlukan kepastian hukum. Sebaliknya kepastian hukum tidak ada gunanya jika ternyata hukum itu tidak adil dan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Wiryono Prodjodikoro sebagaimana dikutip R Soeroso (2002) mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.

Sementara dalam beberapa literatur yang ada, tujuan hukum menurut teori etis semata-mata adalah untuk keadilan. Geny sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo (1996) menyatakan tujuan hukum adalah semata-mata menghendaki keadilan. Sementara tujuan hukum menurut teori utilitis yakni menjamin kebahagiaan manusia dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Tujuan hukum menurut teori ini yakni manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.

VI. Fungsi Hukum

Friedmann dan Rescoe Pound sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto (1986), menyebutkan fungsi sebagai berikut:

  1. Sebagai saran pengendali sosial (social control) yaitu sistem hukum menerapkan aturan-aturan mengenai perilaku yang benar atau pantas.
  2. Sebagai sarana penyelesaian (dispute settlement).
  3. Sebagai   sarana   untuk   mengadakan   perubahan   pada masyarakat.
Menurut Soedjono Dirdjosisworo (1994) fungsi dan peranan hukum adalah penertiban, pengaturan dan penyelesaian pertikaian. Secara garis besar fungsi hukum dibagi dalam tahap-tahap sebagai berikut:

  1. Sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat
  2. Sebagai  sarana  untuk  mewujudkan  keadilan  sosial  lahir bathin.
  3. Sebagai sarana penggerak pembangunan.
  4. Sebagai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum untuk melakukan pengawasan, baik kepada aparatur pengawas, aparatur pelaksana (petugas) dan aparatur penegak hukum itu sendiri.
Sementara menurut Ahmad Ali (2002: 87- 101), membedakan fungsi hukum terdiri atas sebagai berikut:

  1. Fungsi hukum sebagai a tool of social control.
  2. Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering.
  3. Fungsi hukum sebagai simbol
  4. Fungsi hukum sebagai a political instrument.
  5. Fungsi hukum sebagai integrator.
Dalam aliran realisme hukum menurut pendapat Karl Llewellyn sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady (2007: 75), hukum mempunyai fungsi sebagai berikut:

  1. Sebagai alat untuk mengikat anggota dalam kelompok masyarakat, sehingga dapat memperkokoh eksistensi kelompok tersebut. Ini yang disebut dengan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial.
  2. Sebagai alat untuk membersihkan masyarakat dari kasus-kasus yang menggangu masyarakat yang dilakukan dengan jalan memberikan sanksi-sanksi pidana, perdata, administrasi, dan sanksi masyarakat.
  3. Sebagai alat untuk mengarahkan (chanelling) dan mengarahkan kembali (re chanelling) terhadap sikap tindak dan pengharapan masyarakat. Misalnya hukum tentang lalu lintas jalan, agar lalu lintas menjadi tertib dan transportasi berjalan lancar.
  4. Untuk   melakukan   alokasi   kewenangan-kewenangan   dan putusan-putusan serta legitimasi terhadap badan otoritas/ pemerintah.
  5. Sebagai alat stimultan sosial. Dalam hal ini hukum bukan hanya untuk mengontrol masyarakat, tetapi juga meletakkan dasar-dasar hukum yang dapat menstimulasi dan memfasilitasi adanya interaksi masyarakat maupun individu yang baik, tertib dan adil.
  6. Memproduksi   tukang-tukang   (craft)   masyarakat.   Dalam hal ini para profesional di bidang hukum seperti advokat, hakim, jaksa, dosen, polisi, anggota parlemen dan lain-lain mengerjakan pekerjaan yang khusus dan spesifik untuk mencapai kepentingan masyarakat yang lebih baik.


 

iii

iii