I. Pengertian Hukum
Dalam mempelajari tentang hukum biasanya diawali dengan pertanyaan “apa itu hukum”? atau what is law. Banyak perdebatan ahli mengenai jawaban pertanyaan tersebut. Perdebatan untuk menjawab pertanyaan tersebut sesungguhnya ada sejak zaman Plato, Socrates dan sampai sekarang.
Pada prinsipnya pengertian
ataupun defenisi dari hukum sangat sulit untuk dirumuskan dalam suatu batasan
yang paling sempurna. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum itu banyak
segi dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Immanuel Kant sebagaimana dikutip
oleh Van Apeldoorn (1999: 1)) mengingatkan bahwa hampir semua para ahli hukum
mencari-cari pengertian hukum yang paling tepat (,, Noch Suchen Die Juristen
Eine Defenition Zu Ihrem Begriffe Von Recht,,)
Beberapa ahli hukum memberikan
pandangan tentang pengertian dari hukum itu sendiri antara lain yaitu:
a. Van Apeldoorn
Beliau mengatakan bahwa hukum itu
sangat sulit didefenisikan. Mencari pengertian tentang hukum sama dengan kita
mencari pengertian sebuah gunung. Bedanya hukum tidak dapat dilihat dalam
bentuk rupa atau wujudnya sedangkan gunung dapat kita lihat. Sehingga batasan
gunung dilihat dari sudut
pandang kita adalah
sebuah kenaikan muka bumi, agak
curam dan pada segala penjuru lebih tinggi daripada sekitaranya,
sedangkan hukum tidak
bisa dilihat dari sudut
pandang kita, karena
hukum itu sendiri
tidak dapat dilihat. Dalam kenyataan di masyarakat akan dijumpai dua
golongan yang mempunyai pandangan terhadap hukum yakni : pertama, Ontwikkelde
Leek yakni pandangan yang mengatakan bahwa hukum adalah Undang-Undang. Bagi
golongan ini hukum itu tidak lain adalah deretan pasal-pasal yang terdapat
dalam Undang-Undang. Pandangan ini disebut juga dengan pandangan Legisme,
karena terlalu mengagung- agungkan
Undang-Undang. Kedua adalah
Golongan The Man In the Street
yang menyatakan bahwa
hukum itu adalah gedung
pengadilan, hakim, pengacara, jaksa, jurusita dan lain sebagainya. Akan tetapi Van Apeldoorn (1999: 6) sendiri
mengatakan bahwa hukum itu adalah masyarakat itu sendiri ditinjau dari segi
pergaulan hidup. Batasan ini dibuat hanyalah sekedar pegangan sementara bagi
orang yang ingin mempelajari hukum.
b. E. Utrecht
Utrecht sebagaimana dikutip oleh
C.S.T Kansil (1989: 38), memberikan batasan hukum sebagai berikut: “hukum itu
adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan)
yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu”.
c. S.M. Amin
S.M. Amin sebagaimana dikutip
oleh C.S.T Kansil (1989: 38), merumuskan hukum sebagai berikut:
“kumpulan-kumpulan peratura yang terdiri dari dari norma dan sanksi-sanksi itu
disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.
d. J.C.T Simorangkir dan W. Sastropranoto
Defenisi hukum sebagai berikut:
“hukum itu ialah peraturan- peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu” (C.S.T Kansil,
1989: 38).
e. M.H. Tirtaatmidjaja
Menurutnya hukum ialah “semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian- jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya” (C.S.T Kansil, 1989: 38).
Kenyataan yang ada sekarang dalam pandangan masyarakat, ada dua pengertian yang sering identik dengan hukum yakni sebagai berikut:- Hukum diartikan sebagai hak, pengertian yang lebih mengarah kepada pengaturan moral yang dalam berbagai bahasa dan istilah sering disebut right, rechts, ius, droit diritto, derecho.
- Hukum diartikan sebagai undang-undang yang dalam hal ini hanya merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, yang dalam berbagai bahasa atau istilah disebut law, lex, gesetz, legge, ley.
- adanya perintah dan/atau larangan;
- perintah dan/atau larangan itu harus patut ditaati setiap orang. Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukkan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi.
Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri- ciri hukum yaitu (C.S.T Kansil, 1989: 39):
III. Sifat Dari Hukum
- Hukum yang imperatif. Maksudnya hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa.
- Hukum yang fakultatif. Maksudnya ialah hukum itu tidak secara a priori mengikat. Fakultatif bersifat sebagai pelengkap.
Bahwa agar tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara, maka
haruslah kaedah-kaedah hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua orang
mau mentaati kaedah-kaedah
hukum itu, dan
agar supaya sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi
dan ditaati sehingga menjadi kaedah hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan
itu harus diperlengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan demikian hukum
itu mempunyai sifat
mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dapat
memaksa orang supaya
mentaati tata tertib dalam
masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa
yang tidak mau patuh mentaatinya (C.S.T Kansil, 1989: 40).
Selain pembagian sifat di atas, hukum juga mengenal pembagian sifat sebagai berikut:
Hukum itu mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Hukum itu juga dapat memaksa tiap-tiap orang untuk mematuhi tata tertib atau peraturan dalam kemasyarakatan. Akibatnya bila terdapat orang yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang tidak menaatinya.
Beberapa beberapa unsur hukum menurut C.S.T Kansil, (1989: 38 - 39) yaitu:
- peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
- peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
- peraturan itu bersifat memaksa;
- sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara
anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak
dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan hukum yang
bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya,
menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat.
Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam perturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat
(C.S.T Kansil, 1989: 40).
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus
dan diterima oleh
seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum
yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan
dari masyarakat tersebut. Dengan demikian, hukum bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarak itu.
Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana
hukum yang di antaranya sebagai berikut:
Mertokusumo (2009), menyebutkan
ada 3 (tiga)
unsur cita hukum yang harus ada
secara proporsional, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherkeit), keadilan
(Gerechtigkeit) dan kemanfaatan
(Zweckmasigkeit). Cita hukum tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa
dipisahkan satu persatu, ketiganya harus diusahakan ada dalam setiap aturan
hukum. Dalam pelaksanaannya ketiga unsur cita hukum tersebut saling
membutuhkan. Keadilan tidak akan dapat
tercapai jika masyarakatnya kacau atau tidak tertib, ketertiban
masyarakat memerlukan kepastian hukum. Sebaliknya kepastian hukum tidak ada
gunanya jika ternyata hukum itu tidak adil dan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
Wiryono Prodjodikoro sebagaimana dikutip R Soeroso (2002) mengemukakan
bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib
dalam masyarakat.
Sementara dalam beberapa literatur yang ada, tujuan hukum menurut teori
etis semata-mata adalah untuk keadilan. Geny sebagaimana dikutip oleh
Mertokusumo (1996) menyatakan tujuan hukum adalah semata-mata menghendaki
keadilan. Sementara tujuan hukum menurut teori utilitis yakni menjamin
kebahagiaan manusia dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Tujuan hukum menurut teori
ini yakni manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar
bagi jumlah orang yang terbanyak.
VI. Fungsi Hukum
Friedmann dan Rescoe Pound sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto (1986), menyebutkan fungsi sebagai berikut:
- Sebagai saran pengendali sosial (social control) yaitu sistem hukum menerapkan aturan-aturan mengenai perilaku yang benar atau pantas.
- Sebagai sarana penyelesaian (dispute settlement).
- Sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada masyarakat.
- Sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat
- Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir bathin.
- Sebagai sarana penggerak pembangunan.
- Sebagai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum untuk melakukan pengawasan, baik kepada aparatur pengawas, aparatur pelaksana (petugas) dan aparatur penegak hukum itu sendiri.
- Fungsi hukum sebagai a tool of social control.
- Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering.
- Fungsi hukum sebagai simbol
- Fungsi hukum sebagai a political instrument.
- Fungsi hukum sebagai integrator.
- Sebagai alat untuk mengikat anggota dalam kelompok masyarakat, sehingga dapat memperkokoh eksistensi kelompok tersebut. Ini yang disebut dengan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial.
- Sebagai alat untuk membersihkan masyarakat dari kasus-kasus yang menggangu masyarakat yang dilakukan dengan jalan memberikan sanksi-sanksi pidana, perdata, administrasi, dan sanksi masyarakat.
- Sebagai alat untuk mengarahkan (chanelling) dan mengarahkan kembali (re chanelling) terhadap sikap tindak dan pengharapan masyarakat. Misalnya hukum tentang lalu lintas jalan, agar lalu lintas menjadi tertib dan transportasi berjalan lancar.
- Untuk melakukan alokasi kewenangan-kewenangan dan putusan-putusan serta legitimasi terhadap badan otoritas/ pemerintah.
- Sebagai alat stimultan sosial. Dalam hal ini hukum bukan hanya untuk mengontrol masyarakat, tetapi juga meletakkan dasar-dasar hukum yang dapat menstimulasi dan memfasilitasi adanya interaksi masyarakat maupun individu yang baik, tertib dan adil.
- Memproduksi tukang-tukang (craft) masyarakat. Dalam hal ini para profesional di bidang hukum seperti advokat, hakim, jaksa, dosen, polisi, anggota parlemen dan lain-lain mengerjakan pekerjaan yang khusus dan spesifik untuk mencapai kepentingan masyarakat yang lebih baik.
iii