Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Tampilkan postingan dengan label diskusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label diskusi. Tampilkan semua postingan

Rumus Perhitungan PPH 21 Dengan Tarif Efektif 2024

Selain tarif pajak progresif, Ditjen Pajak berlakukan perubahan tarif pemotongan PPh 21 menggunakan skema tarif efektif rata-rata (TER). contoh perhitungan PPh 21 terbaru yang berlaku mulai 2024.

Asas retroaktif atau Berlaku surut

    Asas retroaktif atau Berlaku surut adalah pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal dari pada saat pengundangannya. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan pada dasarnya berlaku pada saat pengundangan, setiap norma yang terkandung didalamnya sudah berlaku mulai dari saat peraturan tersebut diundangkan. Karena itu sebuah peraturan tidak dapat dikenakan pada kejadian sebelum peraturan disahkan sesuai dengan asas legalitas.
    Asas legalitas adalah salah satu asas umum hukum pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dengan pengertian tersebut bahwa asas legalitas diterapkan pada perbuatan pidana atau hukum pidana, jika dirumuskan dalam norma maka pemberlakuan surut tersebut boleh dimuat namun harus dikecualikan untuk ketentuan pidana jika peraturan tersebut memuat ketentuan pidana.
Selain itu dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 berlaku surut tidak boleh dimuat dalam peraturan yang memberikan beban kepada masyarakat seperti penarikan pajak dan retribusi. Dalam penyusunan peraturan agar tidak terjadi kesewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh pembuat kebijakan yang dapat merugikan masyarakat.
Secara umum pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan kecuali ketentuan pidana dan pembebanan kepada masyarakat, namun untuk peraturan yang berlaku surut harus memuat status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan hukum yang ada dalam tenggang waktu antara tanggal berlaku surut dan tanggal berlakunya peraturan tersebut.
Penormaan hubungan hukum dalam tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk memberikan “kepastian hukum” dalam tenggang waktu tersebut agar adanya kejelasan tindakan hukum, hubungan hukum dan akibat hukum dengan adanya berlaku surut dalam peraturan dengan penempatan norma tersebut dalam pasal atau bab “ketentuan peralihan”.
Dalam satu peraturan dapat diterapkan dua pemberlakuan sekaligus, diterapkan berlaku surut dan pemberlakuan pada saat tanggal pengundangan.
Walaupun pemberlakuan surut dapat diterapkan akan tetapi tidak berlaku peraturan kategori norma pidana dan pembebanan masyarakat dengan mudah diberlaku surutkan sebab untuk diberlakusurutkan suatu peraturan harus ada alasan yang kuat kenapa harus diberlakukan sebelum tanggal pengundangannya, tanpa alasan yang kuat tentu berlaku surut tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi alat kesewenang-wenangan.

Pengertian Actus Reus dan Mens Rea

Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku/ keadaan mental atau jiwa pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Pada kondisi mental yang normal seseorang memiliki keseimbangan dalam diri yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupannya. Kondisi mental terganggu karena ada dorongan kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya.

Syarat Perbuatan Dianggap Melanggar Hukum
Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.

Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).


Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.

Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

Delik disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas, tidak adanya alasan pemaaf yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.

Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.


Utrecht berpandangan Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat.
Utrecht menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu: Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat Suatu sikap psikis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin). Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).

Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara membedakan dalam dua bentuk yaitu:
  1. Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
  2. Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechte-lijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.

Sedangkan beberapa ahli hukum memberikan arti sebagai berikut : Simons menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya.

Dengan demikian untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu; Kemampuan bertanggung jawab (toerekenings-vatbaarheid), Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan Dolus atau Culpa.

Pengertian das sein dan das sollen

Das sein adalah realitas yang telah terjadi. Sementara das sollen adalah kaidah dan norma, serta kenyataan soal apa yang seharusnya dilakukan. Keduanya memiliki arti antara kenyataan serta harapan. Das sein merupakan kenyataan atas peristiwa konkret dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen.

Menurut Sudikno Mertokusumo das sollen adalah kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan. Sedangkan das sein adalah kenyataan alamiah atau peristiwa konkret.

“Barang siapa mencuri harus dihukum”, “barang siapa membeli sesuatu harus membayar” adalah suatu kenyataan normatif atau apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sedangkan jika nyata-nyata seseorang telah mencuri atau seseorang membeli sesuatu tidak membayar maka terjadi kenyataan alamiah atau terjadi peristiwa konkret (das sein).

Lebih lanjut, Sudikno, menerangkan bahwa kaidah hukum sebagai ketentuan atau pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, memerlukan peristiwa konkret (das sein), karena peritiwa konkret merupakan aktivator yang diperlukan untuk dapat membuat aktif kaidah hukum.

Di sisi lain, suatu peristiwa konkret baru bisa menjadi peristiwa hukum perlu ada kaidah hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum, atau peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan timbul atau lenyapnya hak dan kewajiban.

Misalnya: merokok adalah peristiwa konkret, tetapi kalau ada orang merokok di dekat pompa bensin yang ada papan larangan merokok dan kemudian terjadi kebakaran yang disebabkan oleh rokok orang tersebut, maka merokok menjadi peristiwa hukum yang menyebabkan si perkok dihukum.

Menurut Sabian Utsman dalam Metodologi Penelitian Hukum Progresif, das sollen dan das sein ditemukan dalam penelitian hukum. Penelitian hukum setidaknya mendiskusikan antara apa yang seharusnya hukum sebagai fakta hukum (das sollen) yang diungkapkan para ahli hukum dalam tataran teoritik (law in the books). Pada tataran ini, lebih pada kajian dasar-dasar normatif (hukum dalam bentuk cita-cita bagaimana seharusnya) dengan apa yang senyatanya (das sein) lebih kepada hukum sebagai fakta, yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di masyarakat (law in action). Sabian mencontohkan das sollen dan das sein sebagai berikut:
Seharusnya (das sollen) = Pemerkosaan itu melanggar hukum
Senyatanya (das sein) = Pemerkosaan itu tidak mudah dihukum.
Pertanyaan: Mengapa pemerkosa sering dinyatakan tidak terbukti bersalah pada saat pemeriksaan pengadilan? Dalam hal ini ada selisih antara das sollen dan das sein, di mana seharusnya pemerkosa itu dihukum karena perbuatan tersebut benar-benar dilakukan, tetapi senyatanya sering tidak terbukti bersalah sesuai ketentuan yang berlaku.



TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN

TUGAS DAN WEWENANG
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bagian Pertama pada BAB III TUGAS DAN WEWENANG yang telah diubah sehingga berbunyi “Diantara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C”.

Pasal 30 ayat (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
  • melakukan penuntutan;
  • melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  • melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
  • melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Ayat (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Ayat (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
  • peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  • pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  • pengawasan peredaran barang cetakan;
  • pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  • pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  • penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 30A berbunyi:
Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Pasal 30B berbunyi :
Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
  • menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamarlan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
  • menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
  • melakukan kerja sarna intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
  • melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
  • melaksanakan pengawasan multimedia.

Pasal 30C berbunyi :
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan:
  • menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kej aksaan ;
  • turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
  • turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
  • melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi;
  • dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaloeya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
  • menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
  • melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti;
  • mengajukan peninjauan kembali; dan i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

TATA CARA PELAKSANAAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PERKARA PERDATA


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA
  • Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi:
    1. Surat Permohonan / Gugatan
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
  • Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri.
  • Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
  • Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
  • Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Neger bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi:
    1. Surat Permohonan Banding;
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
    3. Memori Banding
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan/SKUM di Kasir;
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding.
  • Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita Pengganti.


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    1. Surat Permohonan Kasasi;
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
    3. Memori Kasasi
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori Kasasi.
  • Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.

HUKUM WARIS KUHPERDATA

Pengertian Hukum Waris
Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII Pasal 830-1130 BW.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.

Pluralisme Hukum Waris yang berlaku di Indonesia
  • Hukum Adat, pada umumnya berlaku bagi orang indonesia asli
  • Bagi Orang-orang Indonesia yang beragama islam, diberbagai daerah dipengaruhi dari peraturan pewarisan islam
  • Bagi Orang-orang Arab pada umumnya berlaku seluruh hukum waris islam
  • Bagi Orang Cina dan Eropa (keturunan) berlaku hukum waris dalam KUHPerdata (BW)
Syarat Pewarisan:
  1. Ada pewaris yang meninggal dunia
  2. Ada harta warisan
  3. Ada ahli waris

Terjadinya Pewarisan (warisan terbuka)
Pasal 830 BW menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta kekayaannya beralih kepada ahli waris.

Dua Macam Pewarisan

  • Pewarisan karena Kematian = pewarisan undang-indang = pewarisan ab-intestato. (Ahli warisnya dinamakan ahli waris undang-undang = ahli waris ab-intestaat {a.i})
  • Pewarisan Testamenter = pewarisan berdasarkan surat wasiat = pewarisan ad-testamento. (Ahli warisnya dinamakan ahli waris testamenter = ahli waris surat wasiat)
Sistem Hukum Waris KUHPerdata
  • Sistem Pribadi : yang menjadi ahli waris adalah individual atau perseorangan
  • Sistem Bilateral : orang tidak hanya mewaris dari pihak bapak atau ibu saja tetapi dari kedua-duanya
  • Sistem Penderajatan : ahli waris yang derajatnya dekat menutup ahli waris yang derajatnya lebih jauh, untuk itu diadakan golongan ahli waris.
Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya
  • Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  • Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  • Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  • Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Syarat - Syarat Ahli Waris
  • Mempunyai hak terhadap harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena:
    1. Hubungan darah (pasal 832 BW)
    2. Karena Wasiat (pasal 874 BW)
  • Ahli waris sudah ada dan masih ada saat pewaris (pemilik harta) meninggal dunia (pasal 836 BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 BW, yang menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir jika kepentingan sianak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka dianggap tidak pernah ada.
  • Seseorang yang sudah meninggal dunia dan digantikan oleh keturunannya. Misal seorang kakek dapat mewariskan ke cucu, karena si anaknya sudah meninggal terlebih dahulu.
  • Ahli waris yang tidak dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan.
  • Cakap untuk menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Cara Mewaris
  1. Mewaris karena Kedudukan Sendiri (Uit Eigen Hofde) atau karena haknya sendiri terpanggil menjadi ahli waris (pasal 832 jo. 874). pembagian warisannya secara kepala demi kepala. mereka adalah para ahli waris derajat1, derajat terdekat, suami/isteri, anak luar kawin dan para ahli waris testamenter.
  2. Mewaris karena Penggantian Tempat (Bij Plaatverulling) yaitu mewaris karena menggantikan seseorang yang mestinya mewaris tapi meninggal lebih dulu dari pewarisnya. Pembagiannya pancang demi pancang.

VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING

VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING

Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Biasanya Voeging ini dilakukan oleh pihak ketiga yang merasa kepentingannya “terganggu” akibat gugatan dari pihak penggugat.
Voeging terjadi, apabila dalam sidang datang pihak ketiga yang mengajukan permohonan untuk bergabung pada penggugat atau tergugat. Voeging dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.

Interventie (tussenkomst) terjadi:
  1. apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu.
  2. Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
  3. Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan itu tidak mencampuri proses yang bersangkutan, ia dapat mempertahankan haknya dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi perlindungan haknya itu akan lebih mudah ditempuh dengan cara interventie, yang hal dapat pula mencegah putusan putusan yang saling bertentangan.
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab. Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: Tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi. Pada hal tergugat yang membeli barang itu dari pihak ketiga. Maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu. Permohonan vrijwaring ditolak atau dikabulkan dengan putusan sela.

HIR/RBg tidak mengenal voeging, interventie, dan vrijwaring, tetapi apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang mengaturnya, ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv. (pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pasal 70 Rv dan seterusnya), karena pada dasarnya Hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil.
Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang diadilinya sedemikian rupa, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak yang lain daripada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat mengabulkan permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam' proses, sehingga Hakim dapat memberi putusan bagi semua orang yang berkepentingan.




Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya Hukum Banding
Upaya hukum banding, kasasi, dan verzet termasuk dalam upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Upaya hukum banding, kasasi, dan verzet masuk ke dalam dua upaya hukum, yatu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada di antara keduanya adalah bahwa pada asas upaya hukum biasa yaitu menangguhkan eksekusi. Sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.

Upaya hukum biasa terdiri dari:
  • Banding
Banding yaitu salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan. Pengajuan banding dapat diajukan sehingga putusan terhadap Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga belum dapat dieksekusi kecuali pada putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR (untuk Jawa dan Madura) kemudian Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rbg (untuk luar Jawa dan Madura), serta Pasal 3 Jo. Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 UU Darurat No. 1 Tahun 1951. Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. 

Upaya hukum banding adalah sebuah upaya dari salah satu pihak baik pihak penggugat atau tergugat yang tidak menerima suatu putusan pengadilan karena merasa hak-haknya terserang oleh akibat adanya putusan itu.

Dasar hukum banding perdata tercantum dalam Pasal 199 Rbg, Pasal 6 UU 20/1947 dan Pasal 26 ayat (1) UU 48/2009, di mana yang dapat mengajukan permohonan banding adalah pihak yang bersangkutan.

Banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila para pihak hadir pada saat putusan diucapkan oleh majelis hakim, atau 14 hari sejak pemberitahuan putusan apabila para pihak tidak hadir saat putusan dibacakan.

Apabila putusan yang diucapkan itu di luar kehadiran tergugat (putusan verstek), maka tidak dapat dimohonkan banding, melainkan perlawanan (verzet). Dalam permohonan banding, pembuatan memori banding tidaklah merupakan keharusan atau kewajiban. Yurisprudensi Putusan MA No. 39K/Sip/1973 tertanggal 11 September 1975 menyebutkan kaidah hukum memori banding dapat diajukan selama perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.

  • Kasasi 
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Bila suatu permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Terdapat beberapa alasan mengajukan kasasi, yaitu: 
  1. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
  2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
  3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dari alasan-alasan tersebut di atas, dapat dipahami di tingkat kasasi tidaklah diperiksa lagi tentang duduk perkaranya, melainkan tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Pemeriksaan tingkat kasasi umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.  

Tugas Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi adalah menguji putusan pengadilan sebelumnya tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan sebelumnya.

Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan, serta 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon wajib menyerahkan memori kasasi.

Berbeda dengan banding, memori banding bukanlah menjadi kewajiban bagi pemohon banding, akan tetapi dalam kasasi, memori kasasi adalah kewajiban bagi pemohon kasasi untuk diserahkan. Apabila memori kasasi itu tidak dibuat, permohonan kasasi akan ditolak.

  • Verzet
Verzet adalah salah satu upaya hukum biasa, yang diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu Putusan Pengadilan Negeri. Verzet dapat diajukan oleh seorang tergugat yang dijatuhi putusan Verstek namun upaya Verzet hanya bisa dilakukan satu kali bila terhadap upaya ini, tergugat dijatuhi putusan Verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding. Prosedur mengajukan Verzet dapat dilakukan dalam waktu 14 hari setelah putusan Verstek diberitahukan kepada tergugat sendiri jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat, maka perlawanan boleh diterima sehingga pada hari ke-8 setelah teguran yang tersebut dalam Pasal 196 HIR atau dalam 8 hari setelah permulaan eksekusi. Dalam putusan verzet, kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat. Sedang yang dilawan tetap menjadi penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.Upaya hukum banding, kasasi, dan verzet termasuk ke dalam upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum yang dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Verzet adalah upaya hukum perdata terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadap putusan tanpa hadirnya pihak tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet diatur dalam Pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 HIR dan Pasal 149 ayat (3) jo. Pasal 153 Rbg. Perlawanan ini pada prinsipnya disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan.

Tenggang waktu mengajukan verzet menurut Pasal 129 ayat (2) HIR:

    1. Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak pemberitahuan putusan verstek diterima tergugat.
    2. Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan ke tergugat, perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu.
    3. Atau apabila tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke–8 sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua dalam Pasal 197 HIR.

Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa. Ketika perlawanan telah diajukan maka tertundalah putusan verstek dijalankan.

 

Upaya Hukum Luar Biasaa. 
  • Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 kali, serta dapat dicabut selama belum diputus. Jika sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi. 
Permohonan peninjauan kembali atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan: 
  1. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 
  2. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 
  3. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; 
  4. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 
  5. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 
  6. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan di atas adalah 180 hari untuk: 
  • yang disebut pada angka 1 sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat yang harus dibuktikan secara tertulis hari dan tanggal diketahuinya atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang beperkara;
  • yang disebut pada angkqa 2 sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
  • yang disebut pada angka 3, 4, dan 6 sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang beperkara;
  • yang tersebut pada angka 5 sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

 

  • Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Perlawanan pihak ketiga atau derden verzet adalah suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tadinya tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, akan tetapi putusan itu telah merugikan pihak ketiga tersebut. 
Derden verzet atas sita jaminan dapat diajukan pemilik selama perkaranya belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu untuk dikabulkannya perlawanan pihak ketiga diperlukan adanya kepentingan pihak ketiga dan secara nyata hak pihak ketiga telah dirugikan.



Upaya Hukum BandingDiajukan setelah 14 hari kalender terhitung keesokan harinya setelah pembacaan putusan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. [apabila hari ke-14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka penentuan hari ke-14 jatuh padda hari kerja berikutnya]Memori Banding hard copy dan soft copy (CD)Surat Kuasa KhususPanjar PerkaraRelass pemberitahuan putusan pengadilan (bagi yang tidak hadir)



UPAYA HUKUM BANDING
  1. Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberi­tahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan
  2. Permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan. membuat surat keterangan.
  3. Permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, harus dibuatkan akta pemyataan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon banding, serta tembusannya diberikan kepada pemohon banding
  4. Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana
  5. Permohonan banding yang diajukan harus dicatat dalam buku register induk perkara pidana dan register banding.
  6. Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
  7. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding, harus dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relas pemberitahuan/penyerahannya
  8. Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara.
  9. Dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi
  10. Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, dan dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permohonan banding lagi
DOKUMEN KELENGKAPAN PERKARA BANDING:
  1. Surat permohonan banding dan Surat Kuasa apabila Terdakwa diwakili
  2. Akta Permohonan Banding Dalam Tenggang Waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada pihak pemohon
  3. Akta Pemberitahuan permohonan banding
  4. Memori Banding, Akta pemberitahuan dan penyerahan Memori Banding
  5. Kontra Memori Banding, Akta pemberitahuan dan penyerahan Kontra Memori Banding
  6. Pemberitahuan Memeriksa Berkas (Inzage), Akta memeriksa berkas perkara (inzage)
  7. Salinan putusan
  8. Surat Pengantar Pengirim Berkas Ke Pengadilan Tinggi

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi

Umumnya, Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai judex facti.

Pengadilan Tinggi (biasa disingkat: PT) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.

Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk judex facti.

Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Dalam hukum Indonesia, judex facti dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. Mahkamah Agung adalah judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.

Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Mahkamah Agung hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh judex facti. Karena ini, Mahkamah Agung disebut judex juris.

Kejaksaan

Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Didalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan ri sebagai lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuaasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021)

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi 7 (tujuh) Jaksa Agung Muda, 1 (satu) Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI serta 33 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

PENYITAAN

SITA JAMINAN

Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita/Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari.
Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal 227 (3) jo pasal 198 dan pasal 199 HIR. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara apapun, atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Adalah salah, untuk menitipkan barang itu kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan di gedung Pengadilan Negeri.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat), dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) - (pasal 227, 226 HIR).


SITA CONSERVATOIR
Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.
Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.
Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
(Perhatikan SEMA No. 89/K11018/M/1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari salah sita, hendaknya Kepala Desa diajak serta untuk melihat keadaan tanah, bartas serta luas tanah yang akan disita.
Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat diberitahukan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku ini adalah terbuka untuk umum.
Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat juga jangan berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, barulah tanahl/tanah dan rumah milik tergugat yang disita.

Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sita jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga dan untuk bagian yang lain diperintah untuk diangkat. Namun apabila yang disita itu adalah sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah dapat diputuskan menyatakan sah dan berharga sita jaminan (misalnya, atas 1/3 tanah dan rumah yang bersangkutan).
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seizin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (pasal 65 dan 66 ICW).


SITA REVINDICATOIR
Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai/dipegang oleh tergugat.
Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir berasal dari kata revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya.
Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.
Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan, dengan putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan untuk barang-barang lainnya, diperintahkan untuk diangkat.
Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat.
Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.


SITA EKSEKUSI

Ada dua macam sita eksekusi:

       - Yang langsung.
       - Yang tidak langsung.

  1. Sita eksekusi yang langsung
    Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
    Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan pasal 14 (3) Undangundang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24 Tahun 1997.
    Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan Pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat, untuk kemudian dilelang.
  2. Sita eksekusi yang tidak langsung
    Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.
    Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (pasal 197 (8) HIR, 211 RBg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan, yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benat-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah perternakan, ini selalu dapat disita. Binatang-binatang lain, yaitu, kuda, anjing, kucing, burung, yang kadang-kadang sangat tinggi harga, dapat saja disita.


SITA PERSAMAAN
Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag, terjemahan baku belum ada. Ada yang memakai istilah sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita persamaan. Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita tersebut antara lain diatur dalam pasal 463 R.V. yang berbunyi:
Apabila jurusita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang yang akan disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka jurusita tidak dapat melakukan penyitaan sekali lagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk mempersamakan barang-barang yang disita itu dengan Berita Acara penyitaan, yang untuk itu oleh tersita harus diperlihatkan kepadanya. Ia kemudian akan dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara itu memerintahkan kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 466 Rv. Berita Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita pertama. (diterjemahkan secara bebas oleh redaksi.)
Pasal 463 Rv termasuk dalam bab Eksekusi barang bergerak. Dengan demikian jelaslah, bahwa pasal 463 Rv. berlaku untuk sita eksekusi terhadap barang bergerak. Jadi, apabila telah dilakukan sita eksekusi, tidak dapat dilakukan sita eksekusi lagi terhadap barang bergerak yang sama.
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12) Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 tahun 1960, yang berbunyi sebagai berikut:
Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat rnemberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan, bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat Paksa.
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang diajukan terhadap penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)2, Hakim Pengadilan Negeri menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud dalam ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN, maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak bergerak.

PERLAWANAN

PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

Pasal 129 HIR/153 Rbg memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat, yang dihukum dengan verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan.
Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang sama. yaitu yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar mengacu pada SEMA No.9 Tahun 1964.

PERLAWANAN TEREKSEKUSI TERHADAP SITA EKSEKUSI
Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang tidak bererak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 RBg.
Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR atau 227 RBg). Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri.
Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.

PERLAWANAN PIHAK KETIGA TERHADAP SITA CONSERVATOIR, SITA REVINDICATOIR, DAN SITA EKSEKUSI
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir, dan sita eksekusi, hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita (pasal 195 (6) HIR, pasal 206 (6) RBg).
Jelaslah bahwa penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini.
Pemegang hipotik atau credietverband, apabila tanah/tanah dan rumah yang dijaminkan kepadanya itu disita, berdasarkan klausula yang selalu terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala PUPN.
Pemegang gadai tanah, yang kedudukannya sama dengan pemilik tanah, sebelum adanya Perpu No. 56 Tabun 1960, dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga. Sekarang, karena gadai tanah terbatas sampai paling lama 7 (tujuh) tahun, pemegang gadai tanah tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga lagi.
Agar pelawan berhasil, maka ia harus membuktikan, bahwa barang yang disita itu adalah miliknya. Apabila ia berhasil, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat.
Apabila pelawan tidak dapat membuktikan, bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita itu, pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.
Dalam praktek banyak sekali diajukan perlawanan pihak ketiga oleh isteri atau suami dari tersita.Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh isteri atau suami, dalam hal harta bersama yang disita, sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan oleh karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang isteri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang memang harus ditanggung bersama.
Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau isteri, maka isteri atau suami bisa mengajukan perlawanan pihak ketiga dengan sukses, artinya ia dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar, kecuali:
Mereka yang menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
Suami atau isteri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang, sehingga ia ikut bertanggungjawab.
Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan oleh karenanya pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan tersebut segera nampak, bahwa benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti, bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, harap hati-hati, karena mungkin saja tanah atau mobil itu diperoleh, oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan itu tidak syah.
Sehubungan dengan diajukannya perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan mengenal diteruskannya atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpin olehnya.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau R V, namun dalam praktek menurut yurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan. (putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962, No. 306K/Sip/1962. Rangkuman Yurisprudensi II halaman 270).


EKSEKUSI

EKSEKUSI GROSSE AKTA

Menurut pasal 1224 HIR/pasal 258 R.Bg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur.
Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini sengaja diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/irah-irah.
Aslinya, yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam arsip, juga tidak memakai kepala/irah-irah.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditur, untuk, apabila dikemudian hari diperlukan, langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Orang yang mengaku berhutang, yaitu debitur, diberi juga salinan dari akta pengakuan hutang itu, tetapi salinan yang diserahkan kepada debitur tidak memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse Akta Pengakuan Hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Jadi untuk Fixed Loan, Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grossenya yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, yaitu bank. Bank dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan dan kreditur, yaitu bank harus mengajukan tagihannya melalui suatu gugatan. Dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, putusan dapat dijatuhkan dengan serta merta.


Menurut pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang, (geldschieters ordonantie, S.1938-523), Notaris dilarang untuk membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang. Pasal 224 HIR, pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
Yang dimaksud dengan grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam pasal 224 HIR, pasal 258 RBG, sebenarnya adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris antara orang biasa/Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan. Bisa ditambahkan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan.
Jadi yang dimaksud jumlahnya sudah pasti dalam akta pengakuan hutang itu, bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi yang berbentuk perjanjian.
Dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan Perjanjian kredit bank rekening koran dengan plafond kredit, perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali, yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang, sudah tentu tidak bisa dieksekusi langsung.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, dalam hal debitur melakukan ingkar janji, dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Ketua Pengadilan akan segera memerintahkan Jurusita untuk memanggil debitur untuk ditegur.
Eksekusi selanjutnya akan dilaksanakan seperti eksekusi atas putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


EKSEKUSI JAMINAN HIPOTIK
Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 menyatakan:
Salinan dari Akta yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 (yang dimaksud adalah akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT) yang dibuat oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, dijahit menjadi satu oleh pejabat tersebut dengan sertifikat hipotik, crediet verband yang bersangkutan dan diberikan kepada kreditur yang berhak.
Sertifikat hipotik dan crediet verband, yang disertai salinan akta yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, mempunyai fungsi sebagai grosse akta hipotik dan credietverband, serta mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 224 HIR/258 RBg serta pasal 18 dan 19 Peraturan tentang credietverband (S. 1908-542).
Pasal 14 (3) Undang-undang Rumah Susun, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 1985, menyebutkan:
Sebagai tanda bukti adanya hipotik, diterbitkan sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik dan salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 14 (5) menegaskan: Sertifikat hipotik sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan seperti Putusan Pengadilan Negeri.
Sertifikat hipotik merupakan tanda bukti adanya hipotik dan dibagian depannya, yaitu diatas sampulnya, memakai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kadang-kadang irah-irah itu juga tercantum diatas akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT. lni adalah salah dan berkelebihan, karena akta pernbebanan itu saja, tidak cukup untuk minta eksekusi.
Akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT, seringkali dibuat berdasarkan surat kuasa (untuk mernasang hipotik). Surat kuasa ini harus otentik (pasal 1171 BW), dan pada umumnya dibuat oleh Notaris.
Dengan demikian akta pernbebanan hipotik yang dibuat oleh seorang kuasa, harus dilakukan berdasarkan surat kuasa yang otentik. Apabila dibuat oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang dituangkan dalam akta dibawah tangan sebagai tidak rnemenuhi syarat subyektif, dan hipotiknya dapat dimohonkan pembatalannya berdasarkan pasal 1154 BW.
Eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukurn yang tetap.
Eksekusi dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik.
Perjanjian hutang-piutang yang menyebabkan adanya hipotik bisa dituangkan dalam akta dibawah tangan, tertera diatas kwitansi, bahkan bisa terjadi secara lisan. Jadi tidak usah ada grosse aktanya. Eksekusi cukup dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik. (perhatikan pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 tabuh 1961), Eksekusi selain dapat dilakukan sendiri juga dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari wilayah hukum, dimana tanah yang dihipotikkan itu terletak.
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan hipotik.
Pasal 200 (6) HIR menyatakan: Penjualan (lelang) benda tetap dilakukan setelah penjualan (lelang) diumumkan menurut kebiasaan setempat. Penjualan (lelang) tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang-barang itu disita.
Dengan telah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dihipotikkan dan diserahkan uang hasil lelang kepada kreditur, selesailah sudah tagihan kreditur dan hipotik-hipotik yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada pembeli lelang.
Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam pasal 200 (11) HIR.
Hal ini adalah berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan pasal 1178 (2) BW, dan pasal 6 UU No.4/1997 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hipotik pertama. Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hipotik pertama saja. Apabila pemegang hipotik pertama telah pula membuat janji untuk tidak dibersihkan, (pasal 1210 BW dan pasal 11 (2) UU Hak Tanggungan), maka apabila ada hipotik-hipotik lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua hipotik yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hipotik-hipotik yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dari pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hipotik yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang Undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain. Sebab lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negeri, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (pasal 200 (7) HIR, pasal 217 Rbg).


EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ATAU PERWASITAN
Ketentuan yang mengatur Arbritrase atau Perwasitan adalah pasal 615 s/d pasal 651 R.V.
Putusan Arbitrase domestik, yang terdiri dari putusan Arbitrase ad hoc dan putusan Arbitrase Institusional (seperti putusan Arbitrase dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI) yang berkekuatan hukum tetap dan tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan Arbitrase itu telah dijatuhkan (pasal 637 RV).
Perhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 634 RV dan seterusnya.
Putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990, tertanggal l Maret 1990.

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:

  • putusan declaratoir
  • putusan constitutief
  • putusan condemnatoir.

Putusan declaratoir, yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (pasal 225 HIR, pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (pasal 200 HIR, pasal 214 s/d pasal 224 RBg).
Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, dengan disaksikan oleh pejabat setempat, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan tentang hal tersebut diatas itu, kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah tersebut).
Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam petitum, bisa diberikan dengan serta-merta, atas dasar hak milik yang diserobot.


PENANGGUHAN EKSEKUSI
Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang memimpin eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Negeri berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan, agar eksekusi ditunda.
Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda.
Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan, pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, wewenang yang sama ada pada Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila eksekusi berjalan mulus, tanpa rintangan.
Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar instansi terkait didaerah, perlu terus menerus dibina dan ditingkatkan.