Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Kitab Undang Undang Hukum Dagang

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif adalah Hukum yang baru, tidak akan menghukumi perbuatan di masa lalu. Hukum hanya boleh berlaku maju ke masa depan dan bukan ke masa lalu.
Asas ini kuat dalam bidang pidana, goyah dalam hukum administrasi, tidak berlaku sepenuhnya pada hukum internasional, dan secara umum tidak boleh diberlakukan pada hukum perdata.
Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih terdahulu daripada perbuatan itu”
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak.
Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir.
Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (“UU Pengadilan HAM”) “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia

Pajak merupakan sumber dana terbesar bagi negara yang sangat penting dalam pembangunan. Oleh sebab itu, warga negara Indonesia diwajibkan membayar pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ada tiga sistem pembayaran pajak yang diberlakukan, yaitu:

1. Self Assessment System
Self Assessment System merupakan salah satu sistem pemungutan pajak dimana sistem ini membebankan besaran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan secara mandiri. Jadi wajib pajak disini berperan aktif dalam menghiutng, membayar sampai melaporkan besaran pajaknya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Disini pemerintah berperan sebagai pengawas dari aktivitas perpajakan wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini diterapkan di pajak pusat, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Sistem ini diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini.

Self Assessment System ini memberikan keluasaan kepada wajib pajak, tapi terdapat konsekuensi dimana wajib pajak akan berusaha untuk menyetor besar pajak sekecil mungkin.

Ciri-ciri Self Assesment system:Besar pajak terutang ditentukan oleh wajib pajak itu sendiri
Wajib pajak berperan aktif dalam memenuhi kewajiban pajaknya mulai darimenghitung, membayar hingga melapor pajak sendiri.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terkecuali, jika wajib pajak telat lapor, telat melunasi pajak terutang, atau terdapat pajak yang tidak dibayar.

2. Official Assessment System

Sistem pemungutan satu ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan seberapa besar pajak terutang kepada fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak. Dalam sistem ini, petugas pajak sepenuhnya memiliki inisiatif dalam menghitung dan memungut pajak. Penerapan official assessment system ini pun ditujukan kepada masyarakat selaku wajib pajak, yang dinilai belum mampu untuk diberikan tanggung jawab dalam menghitung serta menetapkan pajak.

Official Assessment System ini diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau jenis-jenis pajak daerah lainnya dimana KPP sebagai pihak yang mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya.

Walau fiskus (pemegang wewenang pajak) cukup dominan dalam menghitung dan menetapkan hutang pajak, namun setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984, sistem pemungutan ini tidak lagi berlaku.

Ciri-ciri Official Assessment System:Wajib pajak bersifat pasif karena perhitungan pajak terutang dihitung oleh aparat pajak (fiskus) yang ditunjuk dalam pengelolaan pajak
Pajak yang terutang muncul setelah aparat pajak menghitung pajak terutang dan diterbitkan SKP
Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besar pajak yang menjadi kewajiban bayar oleh wajib pajak

3. Withholding Assessment System

Untuk withholding system, besaran pajak akan dihitung oleh pihak ketiga yang merupakan bukan wajib pajak ataupun aparat pajak.

Contoh penerapan sistem ini adalah pemotongan gaji karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Oleh karena itu, karyawan tidak perlu lagi mendatangi KPP untuk membayar pajak terutang tersebut.

Jenis-jenis pengenaan pajak yang menggunakan withholding assessment system, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final), dan PPN. Dengan sistem pemungutan ini, wajib pajak akan mendapatkan bukti potong pajak.

Asas Asas Hukum

Prinsip merupakan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Berikut adalah pengertian prinsip atau asas hukum menurut para ahli:
G. W. Paton mendefinisikan asas adalah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas yang menjadi dasar bagi aturan atau kaidah hukum. Dengan demikian, asas bersifat lebih abstrak, sedangkan aturan atau kaidah hukum sifatnya konkret mengenai perilaku atau tindakan hukum tertentu.
A. R. Lacey menjelaskan asas hukum memiliki cakupan yang luas, artinya dapat menjadi dasar ilmiah berbagai aturan atau kaidah hukum untuk mengatur perilaku manusia yang menimbulkan akibat hukum yang diharapkan.
Paul Scholten mengartikan asas hukum sebagai tendensi yang disyaratkan kepada hukum oleh paham kesusilaan, artinya, asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum. Masing-masing pikiran dasar dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan hakim.
  • Undang-Undang Tidak Dapat Berlaku Surut: peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan hadir. Akan tetapi, untuk mengabaikan asas ini dimungkinkan, dalam rangka memenuhi keadilan masyarakat.
  • Undang-Undang Tidak Dapat Diganggu Gugat: undang-undang tidak dapat diuji oleh badan peradilan, melainkan oleh pembentuk undang-undang itu sendiri. Asas ini berlaku jika tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi di sebuah negara. Dengan kata lain, asas ini mengatur bahwa undang-undang dapat di-review jika bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
  • Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peraturan yang lebih tinggi akan mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan.
  • Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali: peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.
  • Kebebasan Berkontrak: freedom of contract, party autonomy liberty of contract. Kebebasan berkontrak artinya kebebasan untuk memilih dan membuat kontrak atau perjanjian, menentukan isi kontrak atau perjanjian, dan memilih subjeknya.
  • Konsensualisme: Asas ini menekankan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan sudah ada sejak detik tercapaikan kesepatakan para pihak. Artinya, perjanjian ada sejak tercapainya kata sepakat atau konsensus antara pihak mengenai pokok perjanjian.
  • Pacta Sunt Servanda: Berdasarkan asas ini, masing-masing pihak perjanjian wajib melaksanakan isi perjanjian demi kepastian hukum. Asas ini tidak berdiri sendiri dan memiliki kaitan dengan asas iktikad baik atau good faith. Asas ini merupakan fundamental, karena melandasi lahirnya perjanjian. Pada perjanjian, janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi pihak yang membuatnya.
  • Iktikad Baik: Asas iktikad baik menghendaki bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dengan siapa pihak membuat perjanjian, dan setiap perjanjin selalu didasari pada asas iktikad baik, tidak melanggar peraturan perundang-undangan, serta tidak melanggar kepentingan masyarakat.
  • Pacta tertiis nec nocent nec prosunt: Perjanjian tidak dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pihak ketiga.
  • Absolut: Asas ini disebut juga sebagai asas hukum memaksa atau dwingendrecht, yakni suatu benda hanya dapat diadakan hak kebendaan sebagaimana yang telah disebut dalam undang-undang. Hak-hak kebendaan tidak akan memberikan wewenang yang lain daripada apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
  • Dapat Dipindahtangankan: Menurut asas ini, semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan hak mendiami.
  • Percampuran: Berdasarkan asas ini, hak kebendaan memiliki wewenang terbatas. Artinya, hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin atas hak miliknya sendiri. Tidak dapat orang tersebut untuk kepentingannya sendiri memperoleh hak gadai, hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tangan, maka hak yang membebani itu menjadi lenyap. Hak ini juga dikenal dengan vermenging.
  • Perlakuan yang Berlainan Terhadap Benda Bergerak dan Tidak Bergerak: Antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak ada perbedaan pengaturan dalam hal terjadi peristiwa hukum yang berkaitan dengan penyerahan, pembebanan, kepemilikan, kedaluwarsa, dan jura in re aliena yang diadakan.
  • Publiciteit: Asas ini dianut atas kebendaan tidak bergerak, yang diberikan hak kebendaan. Hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan didaftarkan dalam register umum. Sedangkan untuk benda bergerak cukup dengan penyerahan tanpa pendaftaran dalam register umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
  • Nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali: Hanya hukum yang tertulis saja yang dapat menentukan apakah norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukum menurut hukum pidana atau tidak. Asas ini juga dikenal dengan sebutan asas legalitas, yakni tidak ada tindak pidana tanpa ada undang-undang yang mendahului.
  • Penafsiran Secara Analogis: Penafsiran secara analogis pada dasarnya tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana. Misalnya, peraturan tentang nullum delictum dan seterusnya melarang penggunaan secara analogis, karena perbuatan semacam itu bukan hanya dapat memperluas banyaknya delik yang ditentukan undang-undang, melainkan juga dapat menjurus pada lebih diperberat atau diperingannya hukuman yang dijatuhkan bagi perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang.
  • Tiada Pidana Tanpa Kesahalahan: Berdasarkan asas ini, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam delik, namun tetap perlu dibuktikan apakah ia dapat dipertanggungjawabkan atau tidak atas perbuatannya tersebut, artinya apakah ia memiliki kesalahan atau tidak.
  • Good Governance: Prinsip ini merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Jika dilihat dari segi functional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya.
  • Asas Kesadaran Hukum: Asas ini dimaknai baik warga masyarakat maupun penguasa, penegak hukum harus dapat memahami, menghayati dan mematuhi hukum sesuai doktrin negara hukum yang demokratis. Dengan diterapkannya prinsip kesadaran hukum, maka hukum dapat bekerja sescara efektif mencapai tujuan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
  • Rebus sic stantibus: Asas ini artinya perjanjian yang telah berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental. Asas ini merupakan salah satu alasan yang dapat digunakan untuk mengakhiri atau menunda berlakunya perjanjian.




Adagium atau Pribahasa Hukum

Menurut KBBI adagium adalah sebuah pepatah atau peribahasa.
  • Ubi societas ibi ius: wherever there is society, there is law atau di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.
  • Fiat Justicia Ruat Caelum: let justice be done, though the heavens falls, atau walaupun esok dunia musnah/walaupun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.
  • Unus Testis Nullus Testis: satu saksi bukan merupakan saksi.
  • Ius Curia Novit: hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum.
  • Ne Bis in Idem: sebuah perkara dengan objek yang sama, para pihak yang sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
  • In Dubio Pro Reo: dalam hal hakim tidak memperoleh keyakinan, hakim wajib memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa.
  • Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars: para pihak harus diperlakukan secara adil dengan diberi kesempatan yang sama secara adil dan berimbang, artinya hakim harus mendengar keterangan masing-masing pihak di persidangan.
  • Absolute sentienfia expositore non indiget: Sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
  • Accipere quid ut justitiam focias non est team accipere quam exiorquere: Menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan akan mengarah ke tindakan pemerasan, bukan hadiah.
  • Adaequatio intellectus et rei: adanya kesesuaian pikiran dengan objek.
  • Communi observantia non est recedendum: Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang menandakan maksud yang terdapat dalam pikirannya.
  • Cujus est dominium, ejus est periculum: Risiko atas suatu kepemilikan ditanggung oleh pemilik.
  • Culpue poena par esto: Jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan.
  • Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist: Saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata.
  • Cum aliquis renunciaverit sociatati, solvitur societas: Saat rekan telah meninggalkan persekutuannya, maka persekutuan tersebut dinyatakan bubar.
  • Cum duo inter se pugnantia reperiuntur in testamento, iltimum ratum est: Jika terdapat perbedaan dalam suatu hakikat, maka terlihat jelas adanya 2 persepsi yang berbeda.
  • Cum letitimae nuptiae factae sunt, patrem liberi sequuntur: Anak yang terlahir dari sebuah perkawinan yang sah mengikuti kondisi ayahnya. Da tua sunt, post mortem tune tua sunt: Berikanlah benda-benda kepunyaanmu saat kau masih memilikinya; setelah meninggal benda-benda tersebut bukan kepunyaanmu lagi.
  • Ei incumbit probatio quidicit, nonqui negat: Beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal.
  • Debet quis juri subjacere rrbi delinquit: Seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan.
  • Divortium dicitur a divertendo, quia vir divertitur ab uxore: 'Divorce' (perceraian) berasal dari kata 'Divertendo', artinya seorang pria dialihkan dari istrinya.
  • Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur: Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.
  • Droil ne done, pluis que soit demaunde: Hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan.
  • Equality before the law: Setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.
  • Facta sunt potentiora verbis: Perbuatan (atau fakta) lebih kuat dari kata-kata.
  • Fiat justicia ruat caelum: Keadilan harus ditegakkan, walau harus mengorbankan kebaikan.
  • Filius est nomen baturae, sed haeres nomen: "anak" nama yang diberikan oleh alam, tetapi "ahli waris" adalah nama yang diberikan hukum.
  • Filius in utero matris est pars viscerum matrix: Seorang anak di dalam kandungan adalah bagian dari kehidupan ibunya.
  • Frustra legis auxilium quareit qui in legem committit: Adalah sia-sia bagi seseorang yang menentang hukum tapi dia sendiri meminta bantuan hukum.
  • Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant: Sesuatu dinyatakan sempurnanya bila setiap bagiannya komplet.
  • Heares est cadem persona cum antecessore: Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya.
  • Ignorantia judicis est calanaitax innocentis: Ketidaktahuan hakim adalah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah.
  • Ignorantia juris non exucusat: Ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan.
  • Ignorantia excusatur non juris sed facti: Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.
  • Inde datae leges be fortior omnia posset: Hukum dibuat, jika tidak maka yang terbuat akan mempunyai kekuatan yang tidak terbatas.
  • In du bio pro reo: jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan meringankan terdakwa.
  • Index animi sermo: Cara seorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya.
  • Iniquum est aliquem rei sui esse judicem: Adalah tidak adil bagi seseorang untuk diadili pada perkaranya sendiri.
  1. Interset reipublicae res judicatoas non rescindi: Adalah kepentingan negara bahwa suatu keputusan tidak dapat diganggu gugat.
  • Judex set lex laguens: Sang hakim ialah hukum yang berbicara.
  • Judex debet judicare secundum allegata et probata: Seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.
  • Judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem
  • conscientiae, ne sit diabolus: Seorang hakim harus mempunyai dua hal; suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani; kecuali dia mempunyai sifat yang kejam.
  • Judex non putest esse testis in propria cause: Seorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri.
  • Judex non reddit plus wuam quod petens ipsse requirit: Seorang hakim tidak memberikan permintaan lebih banyak dari sipenuntut.
  • Judicandum est legibus non exemplis.: Seorang hakim tidak dibatasi untuk menjelaskan penilaiannya sendiri.
  • Judicia poxteriora sunt in lege fortiora: Keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum.
  • Justitiae non est neganda, non differenda: Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.
  • Jurare eat deum in testem vocare et est actus divini cultus: Memberikan sumpah ialah sama halnya dengan memanggil Tuhan sebagai saksi hal itu adalah hal keagamaan.
  • Juris quidem ignorantium cuique nocere, facti verum ignorantiam non nocere: Ketidaktahuan hukum merugikan semua orang; tetapi ketidaktahuan fakta tidak.
  • Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam: Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
  • Lex posterior derogat priori: Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama.
  • Lex prospcit, non respicit: Hukum melihat ke depan bukan ke belakang.
  • Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua: Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak.
  • Lex semper dabit remedium: Hukum selalu memberi obat.
  • Nemo judex in causa sua: hakim tidak boleh mengatur atau mengadili dirinya sendiri.
  • Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet: tidak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki.
  • Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali: suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat.
  • Opinio necessitatis: keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan.
  • Pacta sunt servanda: setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan iktikad baik.
  • Politiae legius non leges politii adoptandae: politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
  • Presumptio iures de iure: semua orang dianggap tahu hukum. Dikenal juga sebagai asas fiksi hukum.
  • Presumpito iustae causa: suatu keputusan pemerintahan dianggap absah sampai ada putusan hakim berkekuatan hukum mengikat yang menyatakan sebaliknya.
  • Presumption of innocence: asas praduga tidak bersalah: seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap.
  • Quiquid est in territorio, etiam est de territorio: asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu.
  • Reo negate actori incumbit probatio: jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.
  • Res nullius credit occupanti: benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa diambil atau dimiliki.
  • Salus populi suprema lex: kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara.
  • Similia similibus: dalam perkara yang sama, harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih.
  • Spreekhuis van de wet: apa kata undang-undang itulah hukumnya.
  • Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux: hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya.
  • Testimonium de auditu: kesaksian yang didengar dari orang lain.
  • Ubi jus ibi remedium: di mana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya, atau memperbaikinya jika hak tersebut dilanggar.
  • Ubi societas, ibi jus: di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.
  • Ut sementem faceris ita metes: siapa yang menanam sesuatu dia yang akan memetik hasilnya.
  • Van rechtswege nieting; null and void: suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum.
  • Volenti non fit iniuria; nulla iniuria est, quae in volentem fiat: tidak ada ketidakadilan yang dilakukan kepada seseorang yang menginginkan hal itu dilakukan.
  • Vox populi vox dei: suara rakyat adalah suara Tuhan.