Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

SYARAT PENGAJUAN PERMOHONAN PENETAPAN AHLI WARIS

 

Syarat Berperkara


SYARAT PENGAJUAN PERMOHONAN PENETAPAN AHLI WARIS

  1. Membuat Surat Permohonan (disertai softcopy).
  2. Fotokopi KTP Para Pemohon 1 lembar
  3. Fotokopi Kartu Keluarga Para Pemohon lembar
  4. Fotokopi Akte Lahir Para Pemohon 1 lembar
  5. Fotokopi Buku Nikah / Akta Cerai Pewaris lembar
  6. Fotokopi Kartu Keluarga Pewaris 1 lembar
  7. Fotokopi Surat Kematian Pewaris 1 lembar
  8. Fotokopi Surat Keterangan Ahli Waris dari kelurahan/desa diketahui kecamatan 1 lembar
  9. Bagan Silsilah Keluarga 1 Lembar
  10. Fotokopi Kartu Identitas Pensiun (Kalau Ada)
  11. Fotokopi Buku Tabungan Bank / Fotokopi Sertifikat Tanah atau Rumah 1 lembar
  12. Fotokopi Akta/Surat Keterangan Kematian
  13. Membayar panjar biaya perkara.

Catatan :

  • Persyaratan asli dibawa saat persidangan.
  • Persyaratan alat bukti dileges (diberi materai Rp. 10.000,- dan di cap POS).
  • Persyaratan ini merupakan persyaratan awal, untuk selanjutnya mengikuti petunjuk/perintah Majelis Hakim di dalam persidangan.
  • Semua potokopi dokumen permohonan menggunakan kertas A4.

Pengertian Actus Reus dan Mens Rea

Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku/ keadaan mental atau jiwa pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Pada kondisi mental yang normal seseorang memiliki keseimbangan dalam diri yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupannya. Kondisi mental terganggu karena ada dorongan kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya.

Syarat Perbuatan Dianggap Melanggar Hukum
Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.

Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).


Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.

Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

Delik disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas, tidak adanya alasan pemaaf yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.

Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.


Utrecht berpandangan Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat.
Utrecht menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu: Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat Suatu sikap psikis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin). Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).

Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara membedakan dalam dua bentuk yaitu:
  1. Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
  2. Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechte-lijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.

Sedangkan beberapa ahli hukum memberikan arti sebagai berikut : Simons menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya.

Dengan demikian untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu; Kemampuan bertanggung jawab (toerekenings-vatbaarheid), Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan Dolus atau Culpa.

Global Tax identity Number (TIN)

Global Tax identity Number (TIN) merupakan gagasan pemberian nomor identitas untuk wajib pajak yang berlaku universal. Dengan global TIN, semua perusahaan yang tergabung dalam satu perusahaan multinasional akan mendapatkan nomor unik yang sama, yang membedakan hanyalah kode negara dimana perusahaan multinasional tersebut beroperasi, serta nomor afiliasi / cabang / permanent establishment dari unit bisnis yang ada di perusahaan multinasional tersebut.

Dengan diimplementasikannya global TIN, diharapkan identifikasi perusahaan multinasional menjadi lebih mudah, pertukaran data pajak antar negara menjadi lebih cepat dan lebih baik, dan kemungkinan terjadinya transfer pricing yang merugikan negara tertentu dapat diminimize.

COD (Certificate of Domicile) Atau Surat Keterangan Domisili (SKD)

COD (Certificate of Domicile) atau SKD merupakan bukti seorang person sebagai resident suatu negara.COD biasanya digunakan untuk memanfaatkan tax treaty. Jika pemberi penghasilan (WPDN) dari Indonesia tidak bisa mendapatkan COD dari mitra bisnis dari Luar Negeri maka WPDN wajib memotong PPh berdasarkan Pasal 26 UU PPh, namun kalau bisa maka WPDN akan memotong sebesar PPh sebesar tarif yang tercantum pada tax treaty.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 24/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ ./2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA 

PER- /PJ/2018 TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Pengertian das sein dan das sollen

Das sein adalah realitas yang telah terjadi. Sementara das sollen adalah kaidah dan norma, serta kenyataan soal apa yang seharusnya dilakukan. Keduanya memiliki arti antara kenyataan serta harapan. Das sein merupakan kenyataan atas peristiwa konkret dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen.

Menurut Sudikno Mertokusumo das sollen adalah kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan. Sedangkan das sein adalah kenyataan alamiah atau peristiwa konkret.

“Barang siapa mencuri harus dihukum”, “barang siapa membeli sesuatu harus membayar” adalah suatu kenyataan normatif atau apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sedangkan jika nyata-nyata seseorang telah mencuri atau seseorang membeli sesuatu tidak membayar maka terjadi kenyataan alamiah atau terjadi peristiwa konkret (das sein).

Lebih lanjut, Sudikno, menerangkan bahwa kaidah hukum sebagai ketentuan atau pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, memerlukan peristiwa konkret (das sein), karena peritiwa konkret merupakan aktivator yang diperlukan untuk dapat membuat aktif kaidah hukum.

Di sisi lain, suatu peristiwa konkret baru bisa menjadi peristiwa hukum perlu ada kaidah hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum, atau peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan timbul atau lenyapnya hak dan kewajiban.

Misalnya: merokok adalah peristiwa konkret, tetapi kalau ada orang merokok di dekat pompa bensin yang ada papan larangan merokok dan kemudian terjadi kebakaran yang disebabkan oleh rokok orang tersebut, maka merokok menjadi peristiwa hukum yang menyebabkan si perkok dihukum.

Menurut Sabian Utsman dalam Metodologi Penelitian Hukum Progresif, das sollen dan das sein ditemukan dalam penelitian hukum. Penelitian hukum setidaknya mendiskusikan antara apa yang seharusnya hukum sebagai fakta hukum (das sollen) yang diungkapkan para ahli hukum dalam tataran teoritik (law in the books). Pada tataran ini, lebih pada kajian dasar-dasar normatif (hukum dalam bentuk cita-cita bagaimana seharusnya) dengan apa yang senyatanya (das sein) lebih kepada hukum sebagai fakta, yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di masyarakat (law in action). Sabian mencontohkan das sollen dan das sein sebagai berikut:
Seharusnya (das sollen) = Pemerkosaan itu melanggar hukum
Senyatanya (das sein) = Pemerkosaan itu tidak mudah dihukum.
Pertanyaan: Mengapa pemerkosa sering dinyatakan tidak terbukti bersalah pada saat pemeriksaan pengadilan? Dalam hal ini ada selisih antara das sollen dan das sein, di mana seharusnya pemerkosa itu dihukum karena perbuatan tersebut benar-benar dilakukan, tetapi senyatanya sering tidak terbukti bersalah sesuai ketentuan yang berlaku.



TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN

TUGAS DAN WEWENANG
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bagian Pertama pada BAB III TUGAS DAN WEWENANG yang telah diubah sehingga berbunyi “Diantara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C”.

Pasal 30 ayat (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
  • melakukan penuntutan;
  • melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  • melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
  • melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Ayat (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Ayat (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
  • peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  • pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  • pengawasan peredaran barang cetakan;
  • pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  • pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  • penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 30A berbunyi:
Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Pasal 30B berbunyi :
Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
  • menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamarlan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
  • menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
  • melakukan kerja sarna intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
  • melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
  • melaksanakan pengawasan multimedia.

Pasal 30C berbunyi :
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan:
  • menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kej aksaan ;
  • turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
  • turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
  • melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi;
  • dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaloeya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
  • menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
  • melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti;
  • mengajukan peninjauan kembali; dan i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

TATA CARA PELAKSANAAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PERKARA PERDATA


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA
  • Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi:
    1. Surat Permohonan / Gugatan
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
  • Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri.
  • Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
  • Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
  • Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Neger bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi:
    1. Surat Permohonan Banding;
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
    3. Memori Banding
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan/SKUM di Kasir;
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding.
  • Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita Pengganti.


PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    1. Surat Permohonan Kasasi;
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
    3. Memori Kasasi
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori Kasasi.
  • Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.

HUKUM WARIS KUHPERDATA

Pengertian Hukum Waris
Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII Pasal 830-1130 BW.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.

Pluralisme Hukum Waris yang berlaku di Indonesia
  • Hukum Adat, pada umumnya berlaku bagi orang indonesia asli
  • Bagi Orang-orang Indonesia yang beragama islam, diberbagai daerah dipengaruhi dari peraturan pewarisan islam
  • Bagi Orang-orang Arab pada umumnya berlaku seluruh hukum waris islam
  • Bagi Orang Cina dan Eropa (keturunan) berlaku hukum waris dalam KUHPerdata (BW)
Syarat Pewarisan:
  1. Ada pewaris yang meninggal dunia
  2. Ada harta warisan
  3. Ada ahli waris

Terjadinya Pewarisan (warisan terbuka)
Pasal 830 BW menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta kekayaannya beralih kepada ahli waris.

Dua Macam Pewarisan

  • Pewarisan karena Kematian = pewarisan undang-indang = pewarisan ab-intestato. (Ahli warisnya dinamakan ahli waris undang-undang = ahli waris ab-intestaat {a.i})
  • Pewarisan Testamenter = pewarisan berdasarkan surat wasiat = pewarisan ad-testamento. (Ahli warisnya dinamakan ahli waris testamenter = ahli waris surat wasiat)
Sistem Hukum Waris KUHPerdata
  • Sistem Pribadi : yang menjadi ahli waris adalah individual atau perseorangan
  • Sistem Bilateral : orang tidak hanya mewaris dari pihak bapak atau ibu saja tetapi dari kedua-duanya
  • Sistem Penderajatan : ahli waris yang derajatnya dekat menutup ahli waris yang derajatnya lebih jauh, untuk itu diadakan golongan ahli waris.
Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya
  • Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  • Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  • Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  • Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Syarat - Syarat Ahli Waris
  • Mempunyai hak terhadap harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena:
    1. Hubungan darah (pasal 832 BW)
    2. Karena Wasiat (pasal 874 BW)
  • Ahli waris sudah ada dan masih ada saat pewaris (pemilik harta) meninggal dunia (pasal 836 BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 BW, yang menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir jika kepentingan sianak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka dianggap tidak pernah ada.
  • Seseorang yang sudah meninggal dunia dan digantikan oleh keturunannya. Misal seorang kakek dapat mewariskan ke cucu, karena si anaknya sudah meninggal terlebih dahulu.
  • Ahli waris yang tidak dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan.
  • Cakap untuk menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Cara Mewaris
  1. Mewaris karena Kedudukan Sendiri (Uit Eigen Hofde) atau karena haknya sendiri terpanggil menjadi ahli waris (pasal 832 jo. 874). pembagian warisannya secara kepala demi kepala. mereka adalah para ahli waris derajat1, derajat terdekat, suami/isteri, anak luar kawin dan para ahli waris testamenter.
  2. Mewaris karena Penggantian Tempat (Bij Plaatverulling) yaitu mewaris karena menggantikan seseorang yang mestinya mewaris tapi meninggal lebih dulu dari pewarisnya. Pembagiannya pancang demi pancang.