Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Istilah Istilah dalam Hukum Acara Perdata

  • Gugatan Provisiional adalah permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
  • Eksepsi merupakan bagian dari jawaban Tergugat terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat . Eksepsi pada pokoknya membuat bantahan – bantahan tertentu adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak berkaitan langsung pokok perkara. Eksepsi pada dasarnya mempersoalkan keabsahan formal dari gugatan Penggugat.
  • Rekonvensi merupakan upaya tergugat untuk menggugat balik penggugat dalam suatu perkara yang sama. Tuntutan balik ini dimungkinan untuk hukum perdata, gugatan rekonvensi dalam hukum perdata dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat.
  • intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan mengajukan gugatan intervensi.
  • Replik yaitu jawaban penggugat baik tertulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
  • Dalam hukum duplik adalah jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat. Duplik diajukan untuk meneguhkan jawaban yang umumnya berisi penolakan terhadap gugatan dan replik penggugat. Sama seperti halnya replik, duplik juga dapat diajukan secara lisan atau tertulis.
  • Kesimpulan merupakan suatu uraian megenai hasil-hasil sidang , yaitu penjabaran dari dalil-dalil yang telah disampaikan para pihak dalam jawab menjawab dikaitkan dengan alat bukti. Isi pokok dari kesimpulan adalah hal-hal yang menguntungkan para pihak sendiri.
  • Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
  • Putusan akhir adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung). Putusan Akhir dapat bersifat deklaratif, constitutief, dan condemnatoir.




Apa yang dimaksud Putusan Sela?

Putusan Sela (tussen vonnis)

Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara

Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:
  1. Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir.
  2. Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
  3. Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan. Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil dalam sita jaminan.
  4. Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah objek sengketa.
 

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon?

Apakah Karyawan mengundurkan diri berhak mendapatkan Uang Pesangon? Jawabannya Ya Berhak.

Dasar Hukumnya:

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1). Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai

berikut:

(1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Bumh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa $orce majeur);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/ Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/ Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain da-lam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. Pekerja/ Buruh memasuki usia pensiun; atau
o. Pekerja/Buruh meninggal dunia.
(2). Selain alasan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan Pemutusan Hubungan Kerja lainnya dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berapa Sih Besaran Pesangon Bagi Karyawan yang Di PHK dan Mengundurkan Diri?

Dalam PERPU NO 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pasal 81 Mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42791) diantaranya sebagai berikut:

Mengubah Pasal 156 menjadi:

(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tqiuh) bulan Upah;
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
  • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
  • masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan Upah;
  • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,6 (enam) bulan Upah;
  • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
  • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
  • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  • biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat Pekerja/ Buruh diterima bekerja;
  • hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.