Blog yang berisi Peraturan Hukum di Indonesia

Kitab Undang Undang Hukum Dagang

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif

Hukum Tidak Berlaku Surut atau non-retroaktif adalah Hukum yang baru, tidak akan menghukumi perbuatan di masa lalu. Hukum hanya boleh berlaku maju ke masa depan dan bukan ke masa lalu.
Asas ini kuat dalam bidang pidana, goyah dalam hukum administrasi, tidak berlaku sepenuhnya pada hukum internasional, dan secara umum tidak boleh diberlakukan pada hukum perdata.
Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih terdahulu daripada perbuatan itu”
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak.
Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir.
Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (“UU Pengadilan HAM”) “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia

Pajak merupakan sumber dana terbesar bagi negara yang sangat penting dalam pembangunan. Oleh sebab itu, warga negara Indonesia diwajibkan membayar pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ada tiga sistem pembayaran pajak yang diberlakukan, yaitu:

1. Self Assessment System
Self Assessment System merupakan salah satu sistem pemungutan pajak dimana sistem ini membebankan besaran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan secara mandiri. Jadi wajib pajak disini berperan aktif dalam menghiutng, membayar sampai melaporkan besaran pajaknya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Disini pemerintah berperan sebagai pengawas dari aktivitas perpajakan wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini diterapkan di pajak pusat, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Sistem ini diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini.

Self Assessment System ini memberikan keluasaan kepada wajib pajak, tapi terdapat konsekuensi dimana wajib pajak akan berusaha untuk menyetor besar pajak sekecil mungkin.

Ciri-ciri Self Assesment system:Besar pajak terutang ditentukan oleh wajib pajak itu sendiri
Wajib pajak berperan aktif dalam memenuhi kewajiban pajaknya mulai darimenghitung, membayar hingga melapor pajak sendiri.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terkecuali, jika wajib pajak telat lapor, telat melunasi pajak terutang, atau terdapat pajak yang tidak dibayar.

2. Official Assessment System

Sistem pemungutan satu ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan seberapa besar pajak terutang kepada fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak. Dalam sistem ini, petugas pajak sepenuhnya memiliki inisiatif dalam menghitung dan memungut pajak. Penerapan official assessment system ini pun ditujukan kepada masyarakat selaku wajib pajak, yang dinilai belum mampu untuk diberikan tanggung jawab dalam menghitung serta menetapkan pajak.

Official Assessment System ini diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau jenis-jenis pajak daerah lainnya dimana KPP sebagai pihak yang mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya.

Walau fiskus (pemegang wewenang pajak) cukup dominan dalam menghitung dan menetapkan hutang pajak, namun setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984, sistem pemungutan ini tidak lagi berlaku.

Ciri-ciri Official Assessment System:Wajib pajak bersifat pasif karena perhitungan pajak terutang dihitung oleh aparat pajak (fiskus) yang ditunjuk dalam pengelolaan pajak
Pajak yang terutang muncul setelah aparat pajak menghitung pajak terutang dan diterbitkan SKP
Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besar pajak yang menjadi kewajiban bayar oleh wajib pajak

3. Withholding Assessment System

Untuk withholding system, besaran pajak akan dihitung oleh pihak ketiga yang merupakan bukan wajib pajak ataupun aparat pajak.

Contoh penerapan sistem ini adalah pemotongan gaji karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Oleh karena itu, karyawan tidak perlu lagi mendatangi KPP untuk membayar pajak terutang tersebut.

Jenis-jenis pengenaan pajak yang menggunakan withholding assessment system, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final), dan PPN. Dengan sistem pemungutan ini, wajib pajak akan mendapatkan bukti potong pajak.