VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING
- apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu.
- Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
- Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan itu tidak mencampuri proses yang bersangkutan, ia dapat mempertahankan haknya dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi perlindungan haknya itu akan lebih mudah ditempuh dengan cara interventie, yang hal dapat pula mencegah putusan putusan yang saling bertentangan.
Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa
- Banding
Banding yaitu salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan. Pengajuan banding dapat diajukan sehingga putusan terhadap Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga belum dapat dieksekusi kecuali pada putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR (untuk Jawa dan Madura) kemudian Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rbg (untuk luar Jawa dan Madura), serta Pasal 3 Jo. Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 UU Darurat No. 1 Tahun 1951. Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Upaya hukum banding adalah sebuah upaya dari salah satu pihak baik pihak penggugat atau tergugat yang tidak menerima suatu putusan pengadilan karena merasa hak-haknya terserang oleh akibat adanya putusan itu.
Dasar hukum banding perdata tercantum dalam Pasal 199 Rbg, Pasal 6 UU 20/1947 dan Pasal 26 ayat (1) UU 48/2009, di mana yang dapat mengajukan permohonan banding adalah pihak yang bersangkutan.
Banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila para pihak hadir pada saat putusan diucapkan oleh majelis hakim, atau 14 hari sejak pemberitahuan putusan apabila para pihak tidak hadir saat putusan dibacakan.
Apabila putusan yang diucapkan itu di luar kehadiran tergugat (putusan verstek), maka tidak dapat dimohonkan banding, melainkan perlawanan (verzet). Dalam permohonan banding, pembuatan memori banding tidaklah merupakan keharusan atau kewajiban. Yurisprudensi Putusan MA No. 39K/Sip/1973 tertanggal 11 September 1975 menyebutkan kaidah hukum memori banding dapat diajukan selama perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
- Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Bila suatu permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Terdapat beberapa alasan mengajukan kasasi, yaitu:
- tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
- salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
- lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dari alasan-alasan tersebut di atas, dapat dipahami di tingkat kasasi tidaklah diperiksa lagi tentang duduk perkaranya, melainkan tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Pemeriksaan tingkat kasasi umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.
Tugas Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi adalah menguji putusan pengadilan sebelumnya tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan sebelumnya.
Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan, serta 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon wajib menyerahkan memori kasasi.
Berbeda dengan banding, memori banding bukanlah menjadi kewajiban bagi pemohon banding, akan tetapi dalam kasasi, memori kasasi adalah kewajiban bagi pemohon kasasi untuk diserahkan. Apabila memori kasasi itu tidak dibuat, permohonan kasasi akan ditolak.
- Verzet
Verzet adalah salah satu upaya hukum biasa, yang diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu Putusan Pengadilan Negeri. Verzet dapat diajukan oleh seorang tergugat yang dijatuhi putusan Verstek namun upaya Verzet hanya bisa dilakukan satu kali bila terhadap upaya ini, tergugat dijatuhi putusan Verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding. Prosedur mengajukan Verzet dapat dilakukan dalam waktu 14 hari setelah putusan Verstek diberitahukan kepada tergugat sendiri jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat, maka perlawanan boleh diterima sehingga pada hari ke-8 setelah teguran yang tersebut dalam Pasal 196 HIR atau dalam 8 hari setelah permulaan eksekusi. Dalam putusan verzet, kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat. Sedang yang dilawan tetap menjadi penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.Upaya hukum banding, kasasi, dan verzet termasuk ke dalam upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum yang dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Tenggang waktu mengajukan verzet menurut Pasal 129 ayat (2) HIR:
- Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak pemberitahuan putusan verstek diterima tergugat.
- Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan ke tergugat, perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu.
- Atau apabila tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke–8 sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua dalam Pasal 197 HIR.
Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa. Ketika perlawanan telah diajukan maka tertundalah putusan verstek dijalankan.
- Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 kali, serta dapat dicabut selama belum diputus. Jika sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan:
- apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
- apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
- apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
- apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
- apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan di atas adalah 180 hari untuk:
- yang disebut pada angka 1 sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat yang harus dibuktikan secara tertulis hari dan tanggal diketahuinya atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang beperkara;
- yang disebut pada angkqa 2 sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
- yang disebut pada angka 3, 4, dan 6 sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang beperkara;
- yang tersebut pada angka 5 sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
- Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Perlawanan pihak ketiga atau derden verzet adalah suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tadinya tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, akan tetapi putusan itu telah merugikan pihak ketiga tersebut.
Derden verzet atas sita jaminan dapat diajukan pemilik selama perkaranya belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu untuk dikabulkannya perlawanan pihak ketiga diperlukan adanya kepentingan pihak ketiga dan secara nyata hak pihak ketiga telah dirugikan.
- Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan
- Permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan. membuat surat keterangan.
- Permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, harus dibuatkan akta pemyataan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon banding, serta tembusannya diberikan kepada pemohon banding
- Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana
- Permohonan banding yang diajukan harus dicatat dalam buku register induk perkara pidana dan register banding.
- Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
- Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding, harus dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relas pemberitahuan/penyerahannya
- Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara.
- Dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi
- Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, dan dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permohonan banding lagi
- Surat permohonan banding dan Surat Kuasa apabila Terdakwa diwakili
- Akta Permohonan Banding Dalam Tenggang Waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada pihak pemohon
- Akta Pemberitahuan permohonan banding
- Memori Banding, Akta pemberitahuan dan penyerahan Memori Banding
- Kontra Memori Banding, Akta pemberitahuan dan penyerahan Kontra Memori Banding
- Pemberitahuan Memeriksa Berkas (Inzage), Akta memeriksa berkas perkara (inzage)
- Salinan putusan
- Surat Pengantar Pengirim Berkas Ke Pengadilan Tinggi
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
Kejaksaan
PENYITAAN
SITA JAMINAN
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita/Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari.
Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal 227 (3) jo pasal 198 dan pasal 199 HIR. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara apapun, atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Adalah salah, untuk menitipkan barang itu kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan di gedung Pengadilan Negeri.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat), dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) - (pasal 227, 226 HIR).
SITA CONSERVATOIR
Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.
Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.
Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
(Perhatikan SEMA No. 89/K11018/M/1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari salah sita, hendaknya Kepala Desa diajak serta untuk melihat keadaan tanah, bartas serta luas tanah yang akan disita.
Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat diberitahukan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku ini adalah terbuka untuk umum.
Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat juga jangan berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, barulah tanahl/tanah dan rumah milik tergugat yang disita.
Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sita jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga dan untuk bagian yang lain diperintah untuk diangkat. Namun apabila yang disita itu adalah sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah dapat diputuskan menyatakan sah dan berharga sita jaminan (misalnya, atas 1/3 tanah dan rumah yang bersangkutan).
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seizin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (pasal 65 dan 66 ICW).
SITA REVINDICATOIR
Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai/dipegang oleh tergugat.
Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir berasal dari kata revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya.
Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.
Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan, dengan putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan untuk barang-barang lainnya, diperintahkan untuk diangkat.
Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat.
Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.
SITA EKSEKUSI
Ada dua macam sita eksekusi:
- Sita eksekusi yang langsung
Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan pasal 14 (3) Undangundang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24 Tahun 1997.
Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan Pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat, untuk kemudian dilelang. - Sita eksekusi yang tidak langsung
Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.
Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (pasal 197 (8) HIR, 211 RBg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan, yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benat-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah perternakan, ini selalu dapat disita. Binatang-binatang lain, yaitu, kuda, anjing, kucing, burung, yang kadang-kadang sangat tinggi harga, dapat saja disita.
- Yang langsung.
- Yang tidak langsung.
SITA PERSAMAAN
Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag, terjemahan baku belum ada. Ada yang memakai istilah sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita persamaan. Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita tersebut antara lain diatur dalam pasal 463 R.V. yang berbunyi:
Apabila jurusita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang yang akan disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka jurusita tidak dapat melakukan penyitaan sekali lagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk mempersamakan barang-barang yang disita itu dengan Berita Acara penyitaan, yang untuk itu oleh tersita harus diperlihatkan kepadanya. Ia kemudian akan dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara itu memerintahkan kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 466 Rv. Berita Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita pertama. (diterjemahkan secara bebas oleh redaksi.)
Pasal 463 Rv termasuk dalam bab Eksekusi barang bergerak. Dengan demikian jelaslah, bahwa pasal 463 Rv. berlaku untuk sita eksekusi terhadap barang bergerak. Jadi, apabila telah dilakukan sita eksekusi, tidak dapat dilakukan sita eksekusi lagi terhadap barang bergerak yang sama.
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12) Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 tahun 1960, yang berbunyi sebagai berikut:
Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat rnemberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan, bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat Paksa.
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang diajukan terhadap penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)2, Hakim Pengadilan Negeri menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud dalam ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN, maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak bergerak.
PERLAWANAN
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Pasal 129 HIR/153 Rbg memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat, yang dihukum dengan verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan.
Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang sama. yaitu yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar mengacu pada SEMA No.9 Tahun 1964.
PERLAWANAN TEREKSEKUSI TERHADAP SITA EKSEKUSI
Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang tidak bererak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 RBg.
Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR atau 227 RBg). Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri.
Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.
PERLAWANAN PIHAK KETIGA TERHADAP SITA CONSERVATOIR, SITA REVINDICATOIR, DAN SITA EKSEKUSI
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir, dan sita eksekusi, hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita (pasal 195 (6) HIR, pasal 206 (6) RBg).
Jelaslah bahwa penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini.
Pemegang hipotik atau credietverband, apabila tanah/tanah dan rumah yang dijaminkan kepadanya itu disita, berdasarkan klausula yang selalu terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala PUPN.
Pemegang gadai tanah, yang kedudukannya sama dengan pemilik tanah, sebelum adanya Perpu No. 56 Tabun 1960, dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga. Sekarang, karena gadai tanah terbatas sampai paling lama 7 (tujuh) tahun, pemegang gadai tanah tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga lagi.
Agar pelawan berhasil, maka ia harus membuktikan, bahwa barang yang disita itu adalah miliknya. Apabila ia berhasil, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat.
Apabila pelawan tidak dapat membuktikan, bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita itu, pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.
Dalam praktek banyak sekali diajukan perlawanan pihak ketiga oleh isteri atau suami dari tersita.Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh isteri atau suami, dalam hal harta bersama yang disita, sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan oleh karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang isteri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang memang harus ditanggung bersama.
Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau isteri, maka isteri atau suami bisa mengajukan perlawanan pihak ketiga dengan sukses, artinya ia dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar, kecuali:
Mereka yang menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
Suami atau isteri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang, sehingga ia ikut bertanggungjawab.
Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan oleh karenanya pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan tersebut segera nampak, bahwa benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti, bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, harap hati-hati, karena mungkin saja tanah atau mobil itu diperoleh, oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan itu tidak syah.
Sehubungan dengan diajukannya perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan mengenal diteruskannya atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpin olehnya.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau R V, namun dalam praktek menurut yurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan. (putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962, No. 306K/Sip/1962. Rangkuman Yurisprudensi II halaman 270).
EKSEKUSI
EKSEKUSI GROSSE AKTA
Menurut pasal 1224 HIR/pasal 258 R.Bg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur.
Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini sengaja diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/irah-irah.
Aslinya, yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam arsip, juga tidak memakai kepala/irah-irah.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditur, untuk, apabila dikemudian hari diperlukan, langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Orang yang mengaku berhutang, yaitu debitur, diberi juga salinan dari akta pengakuan hutang itu, tetapi salinan yang diserahkan kepada debitur tidak memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse Akta Pengakuan Hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Jadi untuk Fixed Loan, Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grossenya yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, yaitu bank. Bank dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan dan kreditur, yaitu bank harus mengajukan tagihannya melalui suatu gugatan. Dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, putusan dapat dijatuhkan dengan serta merta.
Menurut pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang, (geldschieters ordonantie, S.1938-523), Notaris dilarang untuk membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang. Pasal 224 HIR, pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
Yang dimaksud dengan grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam pasal 224 HIR, pasal 258 RBG, sebenarnya adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris antara orang biasa/Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan. Bisa ditambahkan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan.
Jadi yang dimaksud jumlahnya sudah pasti dalam akta pengakuan hutang itu, bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi yang berbentuk perjanjian.
Dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan Perjanjian kredit bank rekening koran dengan plafond kredit, perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali, yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang, sudah tentu tidak bisa dieksekusi langsung.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, dalam hal debitur melakukan ingkar janji, dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Ketua Pengadilan akan segera memerintahkan Jurusita untuk memanggil debitur untuk ditegur.
Eksekusi selanjutnya akan dilaksanakan seperti eksekusi atas putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
EKSEKUSI JAMINAN HIPOTIK
Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 menyatakan:
Salinan dari Akta yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 (yang dimaksud adalah akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT) yang dibuat oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, dijahit menjadi satu oleh pejabat tersebut dengan sertifikat hipotik, crediet verband yang bersangkutan dan diberikan kepada kreditur yang berhak.
Sertifikat hipotik dan crediet verband, yang disertai salinan akta yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, mempunyai fungsi sebagai grosse akta hipotik dan credietverband, serta mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 224 HIR/258 RBg serta pasal 18 dan 19 Peraturan tentang credietverband (S. 1908-542).
Pasal 14 (3) Undang-undang Rumah Susun, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 1985, menyebutkan:
Sebagai tanda bukti adanya hipotik, diterbitkan sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik dan salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 14 (5) menegaskan: Sertifikat hipotik sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan seperti Putusan Pengadilan Negeri.
Sertifikat hipotik merupakan tanda bukti adanya hipotik dan dibagian depannya, yaitu diatas sampulnya, memakai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kadang-kadang irah-irah itu juga tercantum diatas akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT. lni adalah salah dan berkelebihan, karena akta pernbebanan itu saja, tidak cukup untuk minta eksekusi.
Akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT, seringkali dibuat berdasarkan surat kuasa (untuk mernasang hipotik). Surat kuasa ini harus otentik (pasal 1171 BW), dan pada umumnya dibuat oleh Notaris.
Dengan demikian akta pernbebanan hipotik yang dibuat oleh seorang kuasa, harus dilakukan berdasarkan surat kuasa yang otentik. Apabila dibuat oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang dituangkan dalam akta dibawah tangan sebagai tidak rnemenuhi syarat subyektif, dan hipotiknya dapat dimohonkan pembatalannya berdasarkan pasal 1154 BW.
Eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukurn yang tetap.
Eksekusi dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik.
Perjanjian hutang-piutang yang menyebabkan adanya hipotik bisa dituangkan dalam akta dibawah tangan, tertera diatas kwitansi, bahkan bisa terjadi secara lisan. Jadi tidak usah ada grosse aktanya. Eksekusi cukup dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik. (perhatikan pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 tabuh 1961), Eksekusi selain dapat dilakukan sendiri juga dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari wilayah hukum, dimana tanah yang dihipotikkan itu terletak.
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan hipotik.
Pasal 200 (6) HIR menyatakan: Penjualan (lelang) benda tetap dilakukan setelah penjualan (lelang) diumumkan menurut kebiasaan setempat. Penjualan (lelang) tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang-barang itu disita.
Dengan telah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dihipotikkan dan diserahkan uang hasil lelang kepada kreditur, selesailah sudah tagihan kreditur dan hipotik-hipotik yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada pembeli lelang.
Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam pasal 200 (11) HIR.
Hal ini adalah berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan pasal 1178 (2) BW, dan pasal 6 UU No.4/1997 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hipotik pertama. Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hipotik pertama saja. Apabila pemegang hipotik pertama telah pula membuat janji untuk tidak dibersihkan, (pasal 1210 BW dan pasal 11 (2) UU Hak Tanggungan), maka apabila ada hipotik-hipotik lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua hipotik yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hipotik-hipotik yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dari pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hipotik yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang Undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain. Sebab lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negeri, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (pasal 200 (7) HIR, pasal 217 Rbg).
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ATAU PERWASITAN
Ketentuan yang mengatur Arbritrase atau Perwasitan adalah pasal 615 s/d pasal 651 R.V.
Putusan Arbitrase domestik, yang terdiri dari putusan Arbitrase ad hoc dan putusan Arbitrase Institusional (seperti putusan Arbitrase dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI) yang berkekuatan hukum tetap dan tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan Arbitrase itu telah dijatuhkan (pasal 637 RV).
Perhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 634 RV dan seterusnya.
Putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990, tertanggal l Maret 1990.
EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:
- putusan declaratoir
- putusan constitutief
- putusan condemnatoir.
Putusan declaratoir, yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (pasal 225 HIR, pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (pasal 200 HIR, pasal 214 s/d pasal 224 RBg).
Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, dengan disaksikan oleh pejabat setempat, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan tentang hal tersebut diatas itu, kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah tersebut).
Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam petitum, bisa diberikan dengan serta-merta, atas dasar hak milik yang diserobot.
PENANGGUHAN EKSEKUSI
Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang memimpin eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Negeri berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan, agar eksekusi ditunda.
Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda.
Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan, pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, wewenang yang sama ada pada Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila eksekusi berjalan mulus, tanpa rintangan.
Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar instansi terkait didaerah, perlu terus menerus dibina dan ditingkatkan.
GUGATAN
- Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak, agar berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan sedapat mungkin suami-isteri harus datang sendiri.
- Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut. Sehubungan dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta perdamaian.
- Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan sidang tertutup.